CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Jumat, 29 Mei 2009

BIMBINGAN PROFESIONAL GURU DAN MOTIVASI MENGAJAR GURU TERHADAP MANAJEMEN PEMBELARAN

Pendahuluan
Abad 21 merupakan abad global. Masa ini ditandai dengan kehidupan bermasyarakat yang berubah cepat karena dunia semakin menyatu. Apalagi ditopang kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sehingga batas-batas masyarakat dan negara menjadi kabur. Demikian pula pada sekotor ekonomi, dunia berkembang dengan pesat yang ditandai kemajuan ilmu pengetahuan.
Ekonomi yang berdasarkan ilmu pengetahuan merupakan lokomotif dari perubahan dunia abd 21. Selanjutnya sektor ekonomi yang berdasarkan ilmu pengetahuan (knowledge based economy) menuntut penguasaan ilmu pengetahuan dari para pelaku ekonomi profesional. Di dalam masyarakat sederhana, berbagai pekerjaan dilakukan secara rutin. Masyarakat konsumen menuntut kualitas produksi yang tinggi dan terus menerus diperbaiki.
Oleh sebab itu profesionalisme merupakan syarat mutlak dalam kehidupan global. Apalagi pada dunia global lebih diutamakan pada penguasaan kemampuan dan keterampilan serta penuh persaingan. Globalisasi mengubah hakikat kerja dari amatirisme menuju kepada profesionalisme.
Memang inilah dasar dari suatu masyarakat berdasarkan merit system. Legitimasi dari suatu pekerjaan atau jabatan di dalam masyarakat abad 21 tidak lagi didasarkan kepada amatirisme atau keterampilan yang diturunkan atau dengan dasar-dasar yang lain, tetapi berdasarkan kepada kemampuan seseorang yang diperoleh secara sadar dan terarah dalam menguasai berbagai jenis ilmu pengetahuan dan keterampilan.
Tuntutan profesionalisme akibat dari perubahan global sesuai dengan tuntutan perubahan masyarakat, profesi guru juga menuntut profesionalisme. Guru yang profesional bukan hanya sekedar alat untuk transmisi kebudayaan, tetapi mentransfomasikan kebudayaan itu ke arah budaya yang dinamis yang menuntut penguasaan ilmu pengetahuan, produktivitas yang tinggi, dan kualitas karya yang dapat bersaing.

Bimbingan Profesional Guru
Wacana tentang profesionalisme guru kini menjadi sesuatu yang mengemuka ke ruang publik seiring dengan tuntutan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Menurut Oktovianus Sahulata dalam makalahnya dikatakan: mutu pendidikan Indonesia dianggap masih rendah karena beberapa indikator antara lain: Pertama, lulusan dari sekolah dan perguruan tinggi yang belum siap memasuki dunia kerja karena minimnya kompetensi yang dimiliki. Bekal kecakapan yang diperoleh di lembaga pendidikan belum memadai untuk digunakan secara mandiri, karena yang terjadi di lembaga pendidikan hanya transfer of knowledge semata yang mengakibatkan anak didik tidak inovatif, kreatif bahkan tidak pandai dalam menyiasati persoalan-persoalan di seputar lingkungannya. Kedua, Peringkat indeks pengembangan manusia (Human Development Index) masih sangat rendah. Menurut data tahun 2004, dari 117 negara yang disurvei Indonesia berada pada peringkat 111 dan pada tahun 2005 peringkat 110 dibawah Vietnam yang berada di peringkat 108. Ketiga, Mutu akademik di bidang IPA, Matematika dan Kemampuan Membaca sesuai hasil penelitian Programme for International Student Assesment (PISA) tahun 2003 menunjukan bahwa dari 41 negara yang disurvei untuk bidang IPA Indonesia berada pada peringkat 38, untuk Matematika dan kemampuan membaca menempati peringkat 39. Keempat, sebagai konsekuensi logis dari indikator-indikator diatas adalah penguasaan terhadap IPTEK dimana kita masih tertinggal dari negara-negara seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. (www.hotlinkfiles.com)
Guru, akhirnya menjadi salah satu faktor menentukan dalam konteks meningkatkan mutu pendidikan dan menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas karena guru adalah garda terdepan yang berhadapan langsung dan berinteraksi dengan siswa dalam proses belajar mengajar. Mutu pendidikan yang baik dapat dicapai dengan guru yang profesional dengan segala kompetensi yang dimiliki.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen merupakan sebuah perjuangan sekaligus komitmen untuk meningakatkan kualitas guru yaitu kualifikasi akademik dan kompetensi profesi pendidik sebagai agen pembelajaran. Kualifikasi akademik diperoleh melalui pendidikan tinggi program sarjana (S1) atau D4. Sedangkan kompetensi profesi pendidik meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Dengan sertifikat profesi, yang diperoleh setelah melalui uji sertifikasi lewat penilaian portofolio (rekaman kinerja) guru, maka seorang guru berhak mendapat tunjangan profesi sebesar 1 bulan gaji pokok. Intinya, Undang-Undang Guru dan Dosen adalah upaya meningkatkan kualitas kompetensi guru seiring dengan peningkatan kesejahteraan mereka.
Menurut H. Isjoni (2006:20) guru profesional bukan lagi merupakan sosok yang berfungsi sebagau robot, tetapi merupakan dinamisator yang mengantar potensi-potensi peserta didik ke arah kreativitas. Tugas seorang guru profesional meliputi tiga bidang utama:

(1) dalam bidang profesi;
(2) dalam bidang kemanusiaan;
(3) dalam bidang kemasyarakatan.
Dalam bidang profesi, seorang guru profesional berfungsi untuk mengjar, mendidik, melatih, dan melaksanakan penelitian masalah-masalah pendidikan.
Dalam bidang kemanusiaan, guru profesional berfungsi sebagai pengganti orang tuanya dalam peningkatan kemampuan intelektual anak didik. Guru profesional menjadi fasilitator untuk membantu peserta didik mentransformasikan potensi yang dimiliki peserta didik menjadi berkemampuan serta berketeramplilan yang berkembang dan bermanfaat bagi kemanusiaan.
Dalam bidang kemasyarakatan profesi guru berfungsi untuk memenuhi amanat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Sesuai dengan differensiasi tugas dari suatu masyarakat modern, sudah tentu tugas pokok dari guru ialah profesional dalam bidangnya tanpa melupakan tugas-tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan lainnya.
Selanjutnya Isjoni (2006:21) mengatakan: “dalam rangka untuk melaksanakan tugas-tugasnya, guru profesional haruslah memiliki berbagai kompetensi. Kompetensi-kompetensi guru profesional antara lain meliputi kemampuan untuk mengembangkan pribadi peserta didik, khususnya kemampuan intelektual, serta membawa peserta didik menjadi anggota masyarakat Indonesia yang bersatu, dinamis, serta berdasarkan Pancasila.
Berkaitan dengan pembinaan profesional guru ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan:
1. Sistem Pembinaan Profesional (SPP)
Berpijak pada adanya kesadaran dan keinginan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia maka peranan pendidikan khususnya di Sekolah Dasar perlu diperkuat dan didukung dengan tersedianya tenaga kependidikan yang berkualitas pula, yaitu :
a) Pengawas yang berkemampuan profesional dalam melakukan pembinaan serta pengawasan sekolah.
b) Kepala sekolah yang berkemampuan professional dalam melakukan manajemen sekolah.
c) Guru yang berkemampuan professional dalam melaksanakan tugas belajar mengajar.
Sistem Pembinaan Profesional (SPP) adalah usaha yang dilakukan secara sadar untuk meningkatkan dan mengembangkan kualitas profesi serta mutu kerja praktisi pendidikan.
Tujuan SPP adalah untuk meningkatkan kualitas sumber daya tenaga kependidikan yang tersedia, sehingga dapat meningkatkan kualitas proses pendidikan itu sendiri, dan pada giliranya kualitas proses belajar dan out put SD semakin bermutu.
Sumber:
http://intanghina.wordpress.com/2009/01/13/bimbingan-profesional-guru-dan-motivasi-mengajar-guru-terhadap-manajemen-pembelajaran/

Penggunaan Multimedia Oleh Guru Tak Bisa Ditunda

YOGYAKARTA, RABU - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Romi Satria Wahono mengatakan bahwa penggunaan multimedia oleh guru dalam proses belajar sangat efektif dalam meningkatkan daya tangkap anak didik karena mencakup prinsip audiovisual.

Dengan multimedia pembelajaran, anak didik tidak hanya mendengar tapi juga melihat. Inisiatif harus ada pada guru. Oleh karena itu, ketrampilan guru membuat dan menggunakan multimedia pembelajaran jangan ditunda lagi. "Pakai multimedia, daya serapnya lebih tinggi sekitar 30-80 persen," ujar Romi di depan para guru yang mengikuti Lomba Guru Inovatif yang diselenggarakan Microsoft Indonesia di Yogyakarta, Rabu (23/7).

Berdasarkan penelitian, jika guru hanya menggunakan metode 'memperdengarkan' saja, maka anak didik hanya dapat mengungkapkan kembali 70 persen apa yang didengarnya setelah tiga jam dan 10 persen saja setelah tiga hari. Dengan hanya menggunkan metode 'mempertunjukkan', anak didik hanya dapat mengungkapkan kembali 72 persen apa yang didengarnya setelah tiga jam dan 20 persen setelah tiga hari.

"Sementara, jika menggunakan kedua metode itu, anak didik dapat ungkapkan 85 persen yang diperolehnya setelah tiga jam dan 65 persen setelah tiga hari," tandas Romi.

Oleh karena itu, menurut Romi, guru harus berupaya memulai dengan menggunakan software yang mudah digunakan, seperti Microsoft Power Point atau Open Office Impress dan berusaha menguasai animasi dan efeknya.

Meski dengan software yang mudah, keunggulan multimedia pembelajaran tentu saja harus diimbangi dengan kreativitas guru dalam mengemas materi di dalam multimedia pembelajaran.

Dosen Teknologi Informasi Universitas Negeri Jakarta Ahmad Ridwan mengatakan bahwa untuk memperoleh hasl yang maksimal, guru juga tak boleh sembarangan membuat multimedia pembelajaran. Ada pertimbangan mengenai aspek-aspek psikologis pembelajaran.

"Contohnya, guru harus mengetahui psikologi screening. Daya baca orang di screening lebih lambat 20-30 persen daripada baca koran. Ini hasil penelitian, jadi tulisan di screen harus dibuat seefektif mungkin," ujar Ridwan.

Selain itu, para guru harus mempertimbangkan penempatan setiap materi dalam satu layar. Materi-materi penting harus ditempatkan di bagian kiri atas dan diteruskan dengan materi-materi penjelas makin ke bawah. Jika ada flash yang mendukung materi terpenting dapat ditempatkan di sebelah kanan atas. "Materi yang penting ke materi yang tidak penting letaknya seperti arah jarum jam," tambah Ridwan.

Guru juga harus memperhatikan efektivitas penggunaan kata, misalnya dengan menggunakan pointer-pointer. Tampilan juga mempengaruhi. Keterampilan komunikasi visual diperlukan di sini, seperti kreatif dalam warna dan upaya memfokuskan sesuatu. "Focusing materi mendorong mereka untuk mencari sendiri, seperti untuk belajar dan mencari sound dan flash yang menarik," tandas Ridwan.

http://tekno.kompas.com/read/xml/2008/07/23/13050844/penggunaan.multimedia.oleh.guru.tak.bisa.ditunda

pelajaran bahasa indonesia disekolah

Tak heran apabila mata pelajaran ini kemudian diberikan sejak masih di bangku SD hingga lulus SMA. Dari situ diharapkan siswa mampu menguasai, memahami dan dapat mengimplementasikan keterampilan berbahasa. Seperti membaca, menyimak, menulis, dan berbicara. Kemudian pada saat SMP dan SMA siswa juga mulai dikenalkan pada dunia kesastraan. Dimana dititikberatkan pada tata bahasa, ilmu bahasa, dan berbagai apresiasi sastra. Logikanya, telah 12 tahun mereka merasakan kegiatan belajar mengajar (KBM) di bangku sekolah. Selama itu pula mata pelajaran Bahasa Indonesia tidak pernah absen menemani mereka.

Tetapi, luar biasanya, kualitas berbahasa Indonesia para siswa yang telah lulus SMA masih saja jauh dari apa yang dicita-citakan sebelumnya. Yaitu untuk dapat berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia yang baik dan benar.Hal ini masih terlihat dampaknya pada saat mereka mulai mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Kesalahan-kesalahan dalam berbahasa Indonesia baik secara lisan apalagi tulisan yang klise masih saja terlihat. Seolah-olah fungsi dari pembelajaran Bahasa Indonesia di sekolah tidak terlihat maksimal. Saya penah membaca artikel dosen saya yang dimuat oleh harian Pikiran Rakyat. Dimana dalam artikel tersebut dibeberkan banyak sekali kesalahan-kesalahan berbahasa Indonesia yang dilakukan oleh para mahasiswa saat penyusunan skripsi. Hal ini tidak relevan, mengingat sebagai mahasiswa yang notabenenya sudah mengenyam pendidikan sejak setingkat SD hingga SMU, masih salah dalam menggunakan Bahasa Indonesia.

Lalu, apakah ada kesalahan dengan pola pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah? Selama ini pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah cenderung konvesional, bersifat hafalan, penuh jejalan teori-teori linguistik yang rumit. Serta tidak ramah terhadap upaya mengembangkan kemampuan berbahasa siswa. Hal ini khususnya dalam kemampuan membaca dan menulis. Pola semacam itu hanya membuat siswa merasa jenuh untuk belajar bahasa Indonesia. Pada umumnya para siswa menempatkan mata pelajaran bahasa pada urutan buncit dalam pilihan para siswa. Yaitu setelah pelajaran-pelajaran eksakta dan beberapa ilmu sosial lain. Jarang siswa yang menempatkan pelajaran ini sebagai favorit. Hal ini semakin terlihat dengan rendahnya minat siswa untuk mempelajarinya dibandingkan dengan mata pelajaran lain. Saya menyoroti masalah ini setelah melihat adanya metode pengajaran bahasa yang telah gagal mengembangkan keterampilan dan kreativitas para siswa dalam berbahasa. Hal ini disebabkan karena pengajarannya yang bersifat formal akademis, dan bukan untuk melatih kebiasaan berbahasa para siswa itu sendiri.

Pelajaran Bahasa Indonesia mulai dikenalkan di tingkat sekolah sejak kelas 1 SD. Seperti ulat yang hendak bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Mereka memulai dari nol. Pada masa tersebut materi pelajaran Bahasa Indonesia hanya mencakup membaca, menulis sambung serta membuat karangan singkat. Baik berupa karangan bebas hingga mengarang dengan ilustrasi gambar. Sampai ke tingkat-tingkat selanjutnya pola yang digunakan juga praktis tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pengajaran Bahasa Indonesia yang monoton telah membuat para siswanya mulai merasakan gejala kejenuhan akan belajar Bahasa Indonesia. Hal tersebut diperparah dengan adanya buku paket yang menjadi buku wajib. Sementara isi dari materinya terlalu luas dan juga cenderung bersifat hafalan yang membosankan. Inilah yang kemudian akan memupuk sifat menganggap remeh pelajaran Bahasa Indonesia karena materi yang diajarkan hanya itu-itu saja.

Saya mengambil contoh dari data tes yang dilakukan di beberapa SD di Indonesia tentang gambaran dari hasil pembelajaran Bahasa Indonesia di tingkat SD. Tes yang digunakan adalah tes yang dikembangkan oleh dua Proyek Bank Dunia, yaitu PEQIP dan Proyek Pendidikan Dasar (Basic Education Projects) dan juga digunakan dalam program MBS dari Unesco dan Unicef. Dari tes menulis dinilai berdasarkan lima unsur: tulisan tangan (menulis rapi), ejaan, tanda baca, panjangnya karangan, dan kualitas bahasa yang digunakan. Bobot dalam semua skor adalah tulisan (15%), ejaan (15%), tanda baca (15%), panjang tulisan (20%), dan kualitas tulisan (35%).

Hanya 19% anak bisa menulis dengan tulisan tegak bersambung dan rapih. Sedangkan 64% bisa membaca rapih tetapi tidak bersambung. Perbedaan antarsekolah sangat mencolok. Pada beberapa sekolah kebanyakan anak menulis dengan rapih, sementara yang lain sedikit atau sama sekali tidak ada. Ini hampir bisa dipastikan guru-guru pada sekolah-sekolah yang pertama yang bagus tulisannya secara reguler mengajarkan menulis rapi. Sementara sekolah-sekolah yang belakangan tidak.

Hanya 16% anak menulis tanpa kesalahan ejaan dan 52% anak bisa menulis dengan ejaan yang baik (sebagian besar kata dieja dengan benar), sementara lebih dari 30% dari kasus menulis dengan kesalahan ejaan yang parah atau sangat parah. 58 % anak memberi tanda baca pada tulisan mereka dengan baik (dikategorikan bagus atau sempurna), sementara itu lebih dari 35% kasus anak yang menulis dengan kesalahan tanda baca dan dikategorikan kurang atau sangat kurang.

58% siswa menulis lebih dari setengah halaman dan 44% siswa isi tulisannya yang dinilai baik, yaitu gagasannya diungkapkan secara jelas dengan urutan yang logis. Pada umumnya anak kurang dapat mengelola gagasannya secara sistematis

Alasan mengapa begitu banyak anak yang mengalami kesulitan dalam menulis karangan dengan kualitas dan panjang yang memuaskan serta dengan menggunakan ejaan dan tanda baca yang memadai ialah anak-anak di banyak kelas jarang menulis dengan kata- kata mereka sendiri. Mereka lebih sering menyalin dari papan tulis atau buku pelajaran. Dari data tersebut menggambarkan hasil dari KBM Bahasa Indonesia di SD masih belum maksimal. Walaupun jam pelajaran Bahasa Indonesia sendiri memiliki porsi yang cukup banyak.

Setelah lulus SD dan melanjutkan ke SMP, ternyata proses pengajaran Bahasa Indonesia masih tidak kunjung menunjukan perubahan yang berarti. Ulat pun masih menjadi kepompong. Kelemahan proses KBM yang mulai muncul di SD ternyata masih dijumpai di SMP. Bahkan ironisnya, belajar menulis sambung yang mati-matian diajarkan dahulu ternyata hanya sebatas sampai SD saja. Pada saat SMP penggunaan huruf sambung seakan-akan haram hukumnya, karena banyak guru dari berbagai mata pelajaran yang mengharuskan muridnya untuk selalu menggunakan huruf cetak. Lalu apa gunanya mereka belajar menulis sambung?

Seharusnya pada masa ini siswa sudah mulai diperkenalkan dengan dunia menulis (mengarang) yang lebih hidup dan bervariatif. Dimana seharusnya siswa telah dilatih untuk menunjukkan bakat dan kemampuannya dalam menulis: esai, cerita pendek, puisi, artikel, dan sebagainya. Namun, selama ini hal itu dibiarkan mati karena pengajaran Bahasa Indonesia yang tidak berpihak pada pengembangan bakat menulis mereka. Pengajaran Bahasa Indonesia lebih bersifat formal dan beracuan untuk mengejar materi dari buku paket. Padahal, keberhasilan kegiatan menulis ini pasti akan diikuti dengan tumbuhnya minat baca yang tinggi di kalangan siswa.

Beranjak ke tingkat SMA ternyata proses pembelajaran Bahasa Indonesiapun masih setali tiga uang. Sang ulat kini hanya menjadi kepompong besar. Kecuali dengan ditambahnya bobot sastra dalam pelajaran bahasa indonesia, materi yang diajarkan juga tidak jauh-jauh dari imbuhan, masalah ejaan, subjek-predikat, gaya bahasa, kohesi dan koherensi paragraf, peribahasa, serta pola kalimat yang sudah pernah diterima di tingkat pendidikan sebelumnya. Perasaan akan pelajaran Bahasa Indonesia yang dirasakan siswa begitu monoton, kurang hidup, dan cenderung jatuh pada pola-pola hafalan masih terasa dalam proses KBM.

Tidak adanya antusiasme yang tinggi, telah membuat pelajaran ini menjadi pelajaran yang kalah penting dibanding dengan pelajaran lain. Minat siswa baik yang menyangkut minat baca, maupun minat untuk mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia semakin tampak menurun. Padahal, bila kebiasaan menulis sukses diterapkan sejak SMP maka seharusnya saat SMA siswa telah dapat mengungkapkan gagasan dan ''unek-unek'' mereka secara kreatif. Baik dalam bentuk deskripsi, narasi, maupun eksposisi yang diperlihatkan melalui pemuatan tulisan mereka berupa Surat Pembaca di berbagai surat kabar. Dengan demikian apresiasi dari pembelajaran Bahasa Indonesia menjadi jelas tampak prakteknya dalam kehidupasn sehari-hari. Bila diberikan bobot yang besar pada penguasaan praktek membaca, menulis, dan apresiasi sastra dapat membuat para siswa mempunyai kemampuan menulis jauh lebih baik Hal ini sangat berguna sekali dalam melatih memanfaatkan kesempatan dan kebebasan mereka untuk mengungkapkan apa saja secara tertulis, tanpa beban dan tanpa perasaan takut salah.

Setelah melihat pada ilustrasi dari pola pengajaran tersebut saya melihat adanya kelemahan - kelemahan dalam pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah. KBM belum sepenuhnya menekankan pada kemampuan berbahasa, namun lebih pada penguasaan materi. Hal ini terlihat dari porsi materi yang tercantum dalam buku paket lebih banyak diberikan dan diutamakan oleh para guru bahasa Indonesia. Sedangkan pelatihan berbahasa yang sifatnya lisan ataupun praktek hanya memiliki porsi yang jauh lebih sedikit. Padahal kemampuan berbahasa tidak didasarkan atas penguasaan materi bahasa saja, tetapi juga perlu latihan dalam praktek kehidupan sehari-hari.

Selain itu, pandangan atau persepsi sebagian guru, keberhasilan siswa lebih banyak dilihat dari nilai yang diraih atas tes, ulangan umum bersama (UUB) terlebih lagi pada Ujian Akhir Nasional (UAN). Nilai itu sering dijadikan barometer keberhasilan pengajaran. Perolehan nilai yang baik sering menjadi obsesi guru karena hal itu dipandang dapat meningkatkan prestise sekolah dan guru. Untuk itu, tidak mengherankan jika dalam KBM masih dijumpai guru memberikan latihan pembahasan soal dalam menghadapi UUB dan UAN. Apalagi dalam UUB dan UAN pada pelajaran bahasa Indonesia selalu berpola pada pilihan ganda. Dimana bagi sebagian besar guru menjadi salah satu orientasi di dalam proses pembelajaran mereka. Akibatnya, materi yang diberikan kepada siswa sekedar membuat mereka dapat menjawab soal-soal tersebut, tetapi tidak punya kemampuan memahami dan mengimplementasikan materi tersebut untuk kepentingan praktis dan kemampuan berbahasa mereka. Pada akhirnya para siswa yang dikejar-kejar oleh target NEM-pun hanya berorientasi untuk lulus dari nilai minimal atau sekadar bisa menjawab soal pilihan ganda saja. Perlu diingat bahwa soal-soal UAN tidak memasukan materi menulis atau mengarang (soal esai).

Peran guru Bahasa Indonesia juga tak lepas dari sorotan, mengingat guru merupakan tokoh sentral dalam pengajaran. Peranan penting guru juga dikemukakan oleh Harras (1994). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia, dilaporkannya bahwa guru merupakan faktor determinan penyebab rendahnya mutu pendidikan di suatu sekolah. Begitu pula penelitian yang dilakukan International Association for the Evaluation of Education Achievement menunjukkan bahwa adanya pengaruh yang signifikan antara tingkat penguasaan guru terhadap bahan yang diajarkan dengan pencapaian prestasi para siswanya . Sarwiji (1996) dalam penelitiannya tentang kesiapan guru Bahasa Indonesia, menemukan bahwa kemampuan mereka masih kurang. Kekurangan itu, antara lain, pada pemahaman tujuan pengajaran, kemampuan mengembangkan program pengajaran, dan penyusunan serta penyelenggaraan tes hasil belajar. Guru Bahasa Indonesia juga harus memperhatikan prinsip-prinsip pembelajaran bahasa yang langsung berhubungan dengan aspek pembelajaran menulis, kosakata, berbicara, membaca, dan kebahasaan .Rupanya guru juga harus selalu melakukan refleksi agar tujuan bersama dalam berbahasa Indonesia dapat tercapai.

Selain itu, siswa dan guru memerlukan bahan bacaan yang mendukung pengembangan minat baca, menulis dan apreasi sastra. Untuk itu, diperlukan buku-buku bacaan dan majalah sastra (Horison) yang berjalin dengan pengayaan bahan pengajaran Bahasa Indonesia. Kurangnya buku-buku pegangan bagi guru, terutama karya-karya sastra mutakhir (terbaru) dan buku acuan yang representatif merupakan kendala tersendiri bagi para guru. Koleksi buku di perpustakaan yang tidak memadai juga merupakan salah satu hambatan bagi guru dan siswa dalam proses pembelajaran di sekolah perpustakaan sekolah hanya berisi buku paket yang membuat siswa malas mengembangkan minat baca dan wawasan mereka lebih jauh.

Menyadari peran penting pendidikan bahasa Indonesia, pemerintah seharusnya terus berusaha meningkatkan mutu pendidikan tersebut. Apabila pola pendidikan terus stagnan dengan pola-pola lama, maka hasil dari pembelajaran bahasa Indonesia yang didapatkan oleh siswa juga tidak akan bepengaruh banyak. Sejalan dengan tujuan utama pembelajaran Bahasa Indonesia supaya siswa memiliki kemahiran berbahasa diperlukan sebuah pola alternatif baru yang lebih variatif dalam pengajaran bahasa Indonesia di sekolah. Agar proses KBM di kelas yang identik dengan hal-hal yang membosankan dapat berubah menjadi suasana yang lebih semarak dan menjadi lebih hidup. Dengan lebih variatifnya metode dan teknik yang disajikan diharapkan minat siswa untuk mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia meningkat dan memperlihatkan antusiasme yang tinggi. Selain itu guru hendaknya melakukan penilaian proses penilaian atas kinerja berbahasa siswa selama KBM berlangsung. Jadi tidak saja berorientasi pada nilai ujian tertulis. Perlu adanya kolaborasi baik antar guru Bahasa Indonesia maupun antara guru Bahasa Indonesia dengan guru bidang studi lainnya. Dengan demikian, tanggung jawab pembinaan kemahiran berbahasa tidak semata-mata menjadi tanggung jawab guru Bahasa Indonesia melainkan juga guru bidang lain. Apabila, sistem pembelajaran Bahasa Indonesia yang setengah-setengah akan terus begini, maka metamorfosis sang ulat hanyalah akan tetap menjadi kepompong. Awet dan tidak berkembang karena pengaruh formalin pola pengajaran yang masih berorientasi pada nilai semata



Sumber : http://re-searchengines.com/0106achmad.html

Siswa Belajar Lesehan

LAMONGAN, RABU — Meskipun luapan Bengawan Solo surut, sejumlah sekolah di wilayah Kecamatan Widang Kabupaten Tuban dan Kecamatan Laren Kabupaten Lamongan hingga Rabu (4/3) masih tergenang. Sekolah yang tergenang itu di antaranya SMK 2 Widang, MIMA dan SMA NU Laren, SMP Negeri 2 Laren, MI Toriqotul Hidayah Centini dan SD Simorejo, Centini dan Durikulon.

Ada sekolah yang meliburkan siswanya. Namun, ada sekolah yang tetap melaksanakan kegiatan belajar mengajar meskipun harus mengungsi ke sekolah lain. MI Toroqotul Hidayah memilih meliburkan siswa kelas I-III dan kegiatan belajar mengajar untuk kelas IV hingga kelas VI dilangsungkan di TK Muslimat 08 Laren dengan lesehan.

Kepala MI Toriqotul Hidayah Centini Khoirul Anam ditemui di sela-sela mengajar mengatakan, sekolahnya memiliki 219 siswa. Kegiatan belajar mengajar dipindahkan ke TK Muslimat yang masih satu yayasan sekitar 150 meter dari MI yang tergenang.

Kelas IV ada 43 siswa, kelas V 33 siswa, dan kelas VI 54 siswa. "Ya, anak-anak terpaksa belajar darurat seperti ini karena sekolah terendam. Yang penting mereka tetap sekolah karena ruangan TK terbatas ya hanya kelas IV sampai kelas VI yang lain diliburkan," tutur Khoirul Anam.

Sementara itu, SD Inpres Centini hanya melaksanakan kegiatan belajar-mengajar untuk kelas VI, kelas I sampai kelas V diliburkan. Salah seorang guru SD Inpres, Centini Kaswoto, mengatakan, sebanyak 18 siswa kelas VI diupayakan tetap masuk karena untuk persiapan khusus ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN).

Sementara itu, genangan di SMP Negeri 2 Laren dan SMA NU masih tinggi. Kegiatan sekolah khusus kelas akhir dialihkan di Kecamatan Sekaran. SMP Negeri 2 Laren melaksanakan KBM di MIMA Kendal, sedangkan SMA NU di SD Kedalon. Para siswa ke sekolah dengan jalan kaki atau naik perahu melintasi genangan.

Posisikan Siswa Secara Proporsional

Terpisah Direktur The Nagg Nafik pada Diklat Kepemimpinan Profesional Pengawas TK, SD, dan SD Luar Biasa di Lamongan, Rabu (4/3), mengatakan, sistem pembelajaran yang umumnya dilakukan di kelas-kelas selama ini lebih berorientasi pada target penguasaan materi. Meski metode ini terbukti berhasil dalam kompetisi mengingat jangka pendek, tetapi gagal dalam membekali anak untuk memecahkan persoalan dalam kehidupan jangka panjang.

Menurut Nafik, saat ini pendidikan masih didominasi pandangan bahwa pengetahuan sebagai perangkat fakta-fakta yang harus dihafal. "Guru masih menjadi pusat pengetahuan, ilmu, dan sebagainya, sementara ceramah masih menjadi pilihan utama strategi pembelajaran," katanya.

Nafik mengenalkan konsep belajar dengan strategi beyond centers and circle time (BCCT). Konsep tersebut adalah konsep belajar di mana guru-guru menghadirkan dunia nyata dalam kelas sehingga mendorong siswa untuk bisa menghubungkan pengetahuan yang diterimanya dengan dunia nyata. "Dengan metode itu, pengetahuan yang diperoleh siswa bisa dijadikan bekal dalam dunia nyata, baik di masa sekarang, maupun di masa yang akan datang," paparnya.

Menurut Nafik, dunia anak adalah dunia bermain. Maka sudah selayaknyalah konsep pendidikan untuk anak usia dini dirancang dalam bentuk bermain. "Pada intinya, bermain adalah belajar dan belajar adalah bermain. Sudah saatnya metode pengajaran menempatkan siswa pada posisi yang proporsional," ujarnya.

Kepala Dinas Pendidikan Lamongan Musthafa Nur berharap agar peserta diklat tersebut bisa menyerap semua pengetahuan yang disampaikan. "Dengan menerapkan metode pembelajaran yang pas diharapkan akan menghasilkan siswa dengan pengetahuan yang memadai saat siswa dihadapkan pada persoalan kehidupan sehari-hari," katanya.

http://regional.kompas.com/read/xml/2009/03/04/16184113/Siswa.Belajar.Lesehan.

Beri Kami Otonomi Pengelolaan Pembelajaran

Pembelajaran Bahasa Inggris di sekolah dasar yang sedianya untuk pengenalan bergeser menjadi beban karena sulitnya pengerjaan ujian setiap akhir semester, khususnya kelas IV dan V. Diawali sekitar tahun 2000, pengenalan Bahasa Inggris di SD menjadi salah satu cara peningkatan kualitas siswa menyambut era millennium. Dan itu merupakan terobosan yang positif mengingat pendidikan bahasa lebih afdol jika dilakukan sejak dini.
Disamping itu merupakan kebijakan yang menguntungkan bagi lulusan –lulusan yang belum tertampung pada lapangan kerja yang memadai. Sehingga otomatis mengurangi pengangguran. Pembelajaran bahasa inggris masih terasa menyenangkan dan membanggakan bagi siswa sampai bergulirnya kurikulum baru yang cenderung tidak fokus dan menggantung.
Jika pada kurikulum sebelumnya tema yang diajarkan telah ditentukan untuk setiap kelas sehingga siswa tidak mengalami kesulitan yang berarti mengerjakan ujian akhir semester karena seputar tema yang telah diajarkan guru dalam satu semester tersebut. Disamping itu bentuk soalnya juga sesuai dengan dua kemampuan bahasa dari empat yang ada, yaitu reading dan writing. Sedangkan untuk speaking dan listening dilakukan secara praktis oleh guru. Namun kenyataanya pada sekitar lima thun terakhir yang katanya KBK maupun KTSP memberikan kebebasan menentukan tema pada guru tidak dibarengi dengan hak untuk membuat soal sendiri. Dan yang terjadi soal ujian akhir semester menjadi sulit dikerjakan karena melenceng dari tema yang diajarkan terlebih lagi ada materi kemampuan bahasa yang seharusnya diujikan secara praktik dilakukan secara tertulis dengan kisaran 50 sampai 70 persen dari soal.
Haruskah peribahasa “Tak kenal Maka Tak Sayang” yang mengandung arti setelah kenal maka semakin sayang menjadi setelah kenal maka semakin bimbang. Mengapa? Karena nilai harian siswa yang cenderung bagus selalu jeblok setiap ujian akhir semester dikarenakan kurikulum yang ngeculno ndhase dighandoli buntute. Secara psikologis siswa akan frustasi karena apa yang dipelajari selama hampir enam bulan tidak memberi hasil yang diharapkan.
Disamping beban mental guru bahasa inggris yang mayoritas honorer menghadapi anggapan wali murid akan kesungguhan dalam mengajar dalam semester tersebut.
Maka dengan ini kami memohon penanganan yang bijaksana dari pihak terkait. Terlebih Malang sebagai kota Pendidikan tidak kekurangan pakar bahasa yang bisa dimintai kontribusi untuk memberikan sumbangsih mengenai pembelajaran Bahasa Inggris untuk siswa SD sebagai pembelajaran bahasa asing pemula.Dan jelas membutuhkan penanganan khusus dan berbeda dengan pembelajar sekolah menengah agar mencapai long lasting achievement. Atau kalau memang terasa memberatkan, berikanlah kami otonomi dalam pengelolaan pembelajaran Bahasa Inggris pada siswa. Toh selama ini kami belum pernah mendapatkan sosialisasi dan pelatihan yang memadai sehubungan dengan kurikulum yang baru, kecuali hanya kewajiban untuk membeli soal dari dinas.

http://www.koranpendidikan.com/artikel/3401/beri-kami-otonomi-pengelolaan-pembelajaran.htm

Konstruktivisme dan Sekolah Kejuruan

Tingginya angka pengangguran yang mencapai sekitar 42 juta jiwa serta rendahnya angka siswa melanjutkan ke perguruan tinggi membuat dunia pendidikan di Indonesia harus mengoreksi landasan operasional persekolahan mereka. Salah satu isu penting saat ini adalah mengembalikan fungsi dan peran sekolah menengah kejuruan (SMK) sebagai salah satu solusi menyiapkan lulusan yang memiliki keterampilan dan dapat diserap bursa kerja. Meskipun kebijakan ini dianggap belum sepenuhnya dapat menjamin keberhasilan tujuan penyelenggaraannya, paling tidak SMK akan sedikit memberi harapan kepada warga bangsa, sekaligus pemerintah, tentang solusi alternatif dari tingginya angka pengangguran. Karena itu, Depdiknas harus mampu mengembangkan bukan hanya aspek teknis penyiapan SMK seperti assessment dan appraisal program agar bersinergi dengan dunia industri, melainkan juga akan menghadapi tantangan teknis lainnya, yaitu penyiapan tenaga pengajar yang profesional dan mengerti tujuan pendidikan kejuruan dan keterampilan di sekolah.

Tulisan ini ingin memetakan persoalan teknis kedua hal di atas dengan mengajak para pengelola sekaligus guru sekolah kejuruan untuk memahami kerangka pembelajaran yang harus dilakukan untuk kebutuhan life-skills. Karena itu, guru perlu pengenalan makna dan teori belajar secara lebih baik dalam rangka membimbing dan membina siswa agar lebih mandiri dan memiliki keinginan untuk merekonstruksi dunia belajar ke dalam dunia kerja. Hal ini penting untuk diketahui para pengelola sekolah kejuruan, karena hingga saat ini pandangan ahli pendidikan tentang sekolah kejuruan masih mendua. Menurut Parnell (1966), sebagian ahli pendidikan mengatakan bahwa "Learning to know is most important; application can come later."



Konstruktivisme sekolah kejuruan



Sebagai salah satu aliran dalam filsafat pendidikan, konstruktivisme menegasikan bahwa pengetahuan kita sesungguhnya merupakan hasil konstruksi atau bentukan kita sendiri (Von Glaserfeld dalam Battencourt, 1989 dan Matthews, 1994). Artinya teori ini bersandarkan pikiran bahwa seorang siswa sesungguhnya pengemudi sekaligus pengendali informasi dan pengalaman baru yang mereka peroleh dalam sebuah proses memahami, mencermati secara kritis, sekaligus melakukan re-interpretasi pengetahuan dalam sebuah siklus belajar-mengajar (Billett 1996). Secara operasional memang tidaklah sederhana memahami teori ini. Tetapi jika para guru mampu memahami ide bahwa pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui kegiatan siswa (Mind as inner individual representation of outer reality), maka baik guru maupun siswa dapat secara bersama-sama mengonstruksi skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur dalam membangun pengetahuan, sehingga setiap bangunan proses belajar-mengajar memiliki skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang lebih kaya sekaligus berbeda.

Fitur kunci yang lain dari konstruksi pengetahuan adalah konteks fungsional, sosial, dan kegunaan. Ketika seluruh konteks dapat disatukan dalam sebuah skema pembelajaran secara efektif, maka pengetahuan dapat digunakan secara maksimal (Johnson dan Thomas 1994). Meskipun kita tahu bahwa belajar adalah suatu penafsiran personal dan unik dalam sebuah konteks sosial, tetapi akan lebih bermakna jika akhir dari suatu proses pembelajaran dapat secara langsung memotivasi siswa untuk memahami sekaligus membangun arti baru (Billett 1996). Untuk itu, seorang guru dalam pendekatan konstruktivis harus berfungsi sebagai fasilitator aktif, terutama dalam memandu siswa untuk mempertanyakan asumsi diam-diam mereka, serta melatih siswa dalam merekonstruksi makna baru dari sebuah pengetahuan. Berbeda dengan behavioralist, seorang guru konstruktivis lebih tertarik untuk membongkar sebuah makna daripada menentukan suatu materi. Dengan demikian, peran guru dalam pembelajaran konstruktivisme adalah menyediakan pengalaman belajar bagi siswa, memberikan kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa, menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif, serta memonitor dan mengevaluasi hasil belajar siswa. Seluruh proses ini merupakan pendekatan paling baik dalam mekanisme pengembangan kurikulum sekolah kejuruan.

Beberapa penelitian tentang bagaimana siswa belajar dalam sebuah lingkungan dan tempat kerja menunjukkan bahwa proses magang-kognitif dari pendekatan konstruktivisme untuk sekolah kejuruan sangatlah penting. Penelitian dari para praktisi ragam profesi (Buckmaster & LeGrand, 1992) mengungkapkan bahwa praktik kerja dalam sebuah pendidikan kejuruan pada awalnya memang menempuh risiko tinggi. Tetapi jika guru bertindak benar, baik sebagai fasilitator maupun pemandu, guru dapat membantu para siswa dalam belajar merekonstruksi pikiran mereka melalui sebuah prakondisi secara bersama-sama. Meskipun konstruksi dari sebuah pemahaman adalah unik bagi setiap individu, hal tersebut akan mudah dibentuk oleh kultur dan lingkungan tempat bekerja sekaligus belajar dalam sebuah sekolah kejuruan. Yang harus selalu diingat oleh para guru di sekolah kejuruan adalah menghargai siswa dengan instruksi langsung kepada sumber informasi. Kualitas instruksi seorang guru/fasilitator sangat penting, terutama dalam membantu siswa untuk memahami mengapa sesuatu harus dilakukan dan bagaimana mencapai derajat atau level tertentu dari penguasaan sebuah pengetahuan dan keterampilan.

Aktivitas adalah salah satu faktor kunci dalam konstruksi pengetahuan, dan keikutsertaan siswa dalam seluruh aktivitas dan interaksi pembelajaran setiap hari merupakan kekuatan untuk mengakses informasi dan keterampilan yang lebih tinggi. Bertambahnya pengalaman secara rutin dan langsung dalam melakukan suatu pekerjaan akan memberikan siswa kemampuan untuk memecahkan masalah secara reflektif dan berkesinambungan. Karena itu diperlukan sinergi yang jelas antara sekolah kejuruan dan industri terkait dalam rangka memberikan manfaat langsung kepada siswa untuk melakukan proses magang. Pendekatan konstruktivisme memandang bahwa penguatan keterampilan siswa melalui sebuah praktik magang adalah dalam rangka menumbuhkan kepuasan batin agar perasaan siswa terstimulasi secara positif. Dalam pandangan Billett (1996), tempat magang sebagai bagian dari proses belajar-mengajar di sekolah kejuruan memiliki sejumlah kekuatan sebagai lingkungan belajar yang: (1) asli (authentic), tujuan dari setiap aktivitas diarahkan; (2) juga berfungsi sebagai panduan (guideline) untuk mengakses sumber belajar secara langsung; (3) keterikatan siswa satu sama lain untuk memecahkan masalah setiap hari; dan (4) penguatan intrinsik.

Hasil riset lainnya juga menunjukkan bahwa fokus dalam proses belajar-mengajar harus tertuju pada aktivitas individual siswa dalam merekonstruksi pengetahuan (Stevenson 1994, p 29). Dengan demikian peran penting sekolah kejuruan adalah memfasilitasi konstruksi pengetahuan yang dilakukan para siswa melalui sederetan pengalaman lapangan (magang), kontekstual dengan kondisi dan lingkungan sosial yang berkembang (Lynch 1997, p 27). Karena titik fokus dari sekolah kejuruan adalah upaya peningkatan keterampilan siswa, sekolah kejuruan harus digagas dan dijadikan sebagai wadah dari sebuah proses belajar, bukan proses mengajar. Artinya, baik siswa maupun guru harus sama-sama belajar membina hubungan yang positif dan setia dalam berbagi kehendak dan tujuan pembelajaran (Stevenson 1994).

Menurut Hyerle (1996), meskipun pendekatan konstruktivisme dalam model cooperative learning dan assessment portofolio telah mulai digunakan dalam proses belajar di sekolah kejuruan, dalam praktiknya masih terbatas pada aspek partisipasi siswa semata. Hyerle mengingatkan agar para guru juga secara kreatif dapat menggunakan alat-alat visual dalam proses pembelajaran seperti brainstorming webs, thinking process maps, concept mapping,

Para guru dan pengelola sekolah kejuruan harus dengan cerdas memahami bahwa tujuan pembelajaran dari pendekatan konstruktivisme adalah untuk mengembangkan self-directed dan pemahaman saling ketergantungan satu sama lain dalam mengakses dan menggunakan pengetahuan sekaligus keterampilan.

Sedangkan para penggagas sekolah kejuruan berpendapat bahwa "Learning to do is most important; knowledge will somehow seep into the process." Memanfaatkan dan memahami teori konstruktivisme sebagai basis proses belajar-mengajar di sekolah kejuruan adalah salah satu usaha untuk memperoleh legitimasi teoretis sekaligus empiris tentang pentingnya sekolah kejuruan. dan juga perangkat multimedia lainnya.

sumber : Media Indonesia - Ahmad Baedowi, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Jakarta

Kursus Profesi Bagi Si Putus Sekolah

Mau ikut kursus profesi? Siap-siap. Depdiknas telah menyediakan anggaran mencapai Rp 186 miliar di tahun 2008 untuk program Kursus Para Profesi (KPP) yang ada di Ditjen PNFI, Depdiknas. Program ini merupakan komitmen Depdiknas untuk terlibat aktif dalam pengurangan angka pengangguran.

Dana akan diberikan dalam bentuk beasiswa atau pelatihan khusus oleh lembaga kursus bersertifikasi. Bantuan disalurkan kepada lembaga penyelenggara.

Lembaga penerima tak hanya memberi bekal pengetahuan kepada peserta didik, tapi juga diminta mencarikan pekerjaan. ''Setelah diberikan dana tambahan, lembaga tersebut harus mampu menyalurkan seluruh peserta kursus ke dunia kerja,'' tutur Direktur Jenderal Pendidikan Formal dan Informal (PNFI), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas),Ace Suryadi.

Setiap lembaga, kata Ace, berhak medapatkan dana untuk kursus profesi. KPP berorientasi pada spektrum kursus kewirausahaan desa, perkotaan, nasional, dan internasional. Untuk wirausaha perdesaan, beasiswa diberikan untuk kursus soal perikanan, perkebunan, kain tradisional, cenderamata, dan lainnya. Sedangkan untuk wirausaha perkotaan, beasiswa diberikan untuk kursus seperti keperawatan, spa therapist, dan kursus yang didasarkan pada permintaan pekerjaan luar negeri.

Besarnya bantuan tergantung jenis dan lama kursus. Ia mencontohkan, untuk kursus keperawatan, jumlah beasiswa mencapai Rp 4 juta per siswa. Akan ada 160 ribu peserta didik yang akan mendapat beasiswa kursus profesi ini.

Sertifikasi
Ace mengatakan, saat ini sebanyak 35 ribu tenaga lulusan kursus akan selesai disertifikasi oleh Depdiknas. Pemberian sertifikasi ini telah diatur dalam UU No .20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No 13 tahun 2003 tentang Sertifikasi Tenaga Kerja.

Depdiknas, kata Ace, mengembangkan program KPP dengan pendekatan Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH). Pendekatan ini digunakan sebagai pembelajaran masyarakat agar memiliki kemampuan dan keterampilan untuk memasuki dunia kerja atau usaha mandiri.

Pengembangan KPP, menurut Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, didukung dengan kebijakan, program, dan pendanaan. ''Pemerintah menyediakan berbagai kursus dan pelatihan yang berorientasi pada kebutuhan (demand driver) di dalam dan luar negeri untuk menciptakan tenaga kerja yang berkualitas,'' tuturnya dalam acara penyerahan Indonesian Spa Therapist Certification kepada 150 spa therapist di Jakarta, akhir Februari 2008.

Sertifikasi profesi ini, menurut Bambang, sangat penting sebagai jaminan pengakuan atas mutu profesi setiap lulusan kursus. ''Kami bekerja sama dengan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP), Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), dan Badan Akreditasi Pendidikan Nonformal (BAPNF) untuk mengeluarkan sertifikasi profesi tersebut,'' katanya.

Direktur Lembaga Kursus, Triyadi, menjelaskan program KPP memusatkan perhatian kepada pemuda lulus SMP yang tidak melanjutkan pendidikannya dan putus sekolah SMA/SMK. Pelaksanaannya bekerja sama dengan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Koperasi dan Usaha Kecil, Kamar Dagang Indonesia (Kadin), dan lembaga kursus lainnya.

sumber : republika

Portal Pembelajaran Online untuk Sekolah

AKARTA, KOMPAS.com- Portal pembelajaran online yang terlindungi dan bisa dipakai sebagai alat pembelajaran bagi guru dan siswa di sekolah maupun lintas negara disediakan secara gratis oleh Oracle Education Fopundation. Sekolah bisa bergabung dengan platform ThinkQuest milik Oracle Foundation Education yang menyediakan program teknologi pembelajaran yang sudah dipakai dari TK -SMA di seluruh dunia secara gratis.

Sebagai langkah untuk mempercepat penggunaan ThinkQuest, Oracle Education Foundation menandatangani nota kesepahaman dengan Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Selasa (31/3). Kesepakatan ini meliputi pelatihan guru untuk bisa mengimplementasikan pembelajaran dengan memanfaatkan ThinkQuest.

Taufik Yudi Mulyanto, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi bisa membantu untuk terciptanya proses belajar mandiri oleh siswa. DKI Jakarta sendiri bertekad untuk bisa meningaktkan mutu pendidikan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi.

Taufik mengatakan, di semua SMA/SMK negeri di Jakarta sudah tersambung jaringan internet. Di swasta, sekitar 70 persen sudah menggunakan fasilitas internet. Di akhir tahun ini, semua SMP dan SMA/SMK sudah terhubung ke jaringan internet.

Adi J Rusli, Managing Director Oracle Indonesia, menjelaskan pelajar Indonesia sejak tahun 2006 sudah menggunakan ThinkQuest untuk meningkatkan pembelajaran di dalam kelas. "ThinkQuest menganjurkan kerjasama tim, kolaborasi, dan mengerti kebudayaan pelajar lain. Kemampaun tiu snagat dibutuhkan pada ekonomi berbasis pengetahuan di masa sekarang ini," kata Adi.

Di Indonesia, sampai saat ini sudah 690 sekolah yang bergabung dengan anggota 13.375 siswa dan guru. Untuk pendaftaran bisa mengakses di www.thinkquest.org atau www.oraclefoundation.com

sumber : kompas

Doko Ciptakan Metode Pembelajaran IPS Menyenangkan

JAKARTA, SENIN - Metode pembelajaran mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) dikenal membosankan. Belum lagi, satu-satunya yang akhirnya diandalkan adalah menghafal mati konsep dan teorinya. Akibatnya, para siswa kehilangan kesempatan untuk memiliki kemampuan kritis dalam menganalisa fenomena-fenomena sosial.

Doko Harwanto, guru mata pelajaran Ekonomi dari SMPN 2 Wanadadi menggagas teknik pemodelan kinestetik dalam penelitian yang dipresentasikan pada hari kedua Lomba Karya Ilmiah Guru (LKIG) di Depok, Senin (7/7). Lomba ini diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mulai tanggal 6-8 Juli 2008.

Teknik kinestetik dapat menekankan pada tindakan fisik dan emosional siswa untuk melakukan aktivitas belajar. Pada intinya, teknik ini berpusat pada mendukung siswa belajar dengan perasaan senang dan tanpa merasa tertekan sehingga potensi otak untuk berpikir secara logis dan rasional lebih besar.

"Kalau belajar IPS, apalagi ekonomi, anak-anak seringnya mengantuk dan seringnya menghapal saja, dengan metode gerak atau menyusun balok, tentu saja dapat membantu mereka untuk belajar dengan baik," ujar Doko seusai mempresentasikan makalah penelitiannya dalam babak final Lomba Karya Ilmiah Guru (LKIG) yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), di Depok, Senin (7/7).
Aktivitas belajar yang dikembangkan dalam mata pelajaran ini adalah kata dan kotak berkait, rekonstruksi peta konsep, puzzle jigsaw dan rancang bangun konsep. Puzzle jigsaw mengajak siswa untuk merangkai kembali potongan-potongan kertas menjadi kesatuan yang utuh. Puzzle ini berisi tulisan atau gambar tentang konsep-konsep sesuai dengan materi yang dipelajari, sedangkan metode kotak bangun konsep mengajak siswa untuk menyusun kotak-kotak konsep atau subkonsep secara bertingkat sehingga membentuk konstruksi tertentu.

sumber : kompas - lina

Depdiknas Optimistis 2009 tidak Ada Lagi Sekolah Rusak

Depdiknas Optimistis 2009 tidak Ada Lagi Sekolah Rusak

JAKARTA -- Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) optimistis proses rehabilitasi dan renovasi sebanyak 135.194 ruang kelas dan sekolah rusak di tingkat sekolah dasar, Madrasah Ibtidaiah (MI) dan SD Luar Biasa (SDLB) di sejumlah provinsi di tanah air dapat dituntaskan pada tahun 2009 dengan perkiraan biaya sebesar Rp9,07 triliun. "Seiring dengan terpenuhinya alokasi anggaran 20 persen untuk sektor pendidikan, Presiden meminta agar memberikan prioritas salah satunya penuntasan wajib belajar (wajar) sembilan tahun. Untuk menuntaskan wajar sembilan tahun tersebut, maka upaya dilakukan antara lain melalui perbaikan sarana dan prasarana pendidikan," kata Direktur Pembinaan Tk dan SD Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Depdiknas, Mudjito Ak di Jakarta, Senin.

Data tahun 2003 meunjukkan terdapat 531.186 ruang kelas SD/MI atau sebesar 49,50 persen dari 1.073.103 ruang kelas SD/MI yang mengalami kerusakan sedang dan berat. "Perbaikan ruang kelas rusak baik kategori sedang dan berat untuk tingkat SD/MI telah dilakukan sejak tahun 2003 dan jumlahnya cukup besar yakni 531.186 ruang kelas (49,5 persen) di seluruh Indonesia," katanya.

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk memperbaiki ruang kelas yang rusak adalah melalui program dana alokasi khusus (DAK) bidang pendidikan dan non DAK antara lain melalui dana bencana alam, APBN-P, dekonsentrasi, APBD I dan II. DAK bidang pendidikan dimaksud untuk menunjang pelaksanaan wajib belajar 9 tahun dan diarahkan untuk membiayai rehabilitasi ruang kelas SD/MI dan SDLB serta sekolah-sekolah setara SD yang berbasis keagamaan, meliputi juga sarana meubilernya, katanya.

Selanjutnya, selama lima tahun proses rehabilitasi dan renovasi dilaksanakan setiap tahun hingga tahun 2008 dengan rincian renovasi melalui dana alokasi khusus (DAK) sebanyak 295.548 ruang kelas (27,51 persen) dan dana non DAK sebanyak 100.444 ruang kelas (9,3 persen) sehingga sisa ruang kelas rusak pada tahun 2009 sebanyak 135.194 ruang kelas (12,6 persen). Lebih lanjut Mudjito mengatakan, sisa ruang kelas rusak pada tahun 2009 sebanyak 135.194 ruang kelas tersebar di semua propinsi di tanah air, yakni dengan tingkat kerusakan ringan antara 0-10 persen sebanyak 1.331 ruang kelas terdapat di 19 propinsi, antara lain Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Jambi, Maluku, NTB, Papua, Bangka Belitung, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah dan sebagainya.

Ruang kelas rusak sedang antara 10,2 hingga 20 persen sebanyak 2.282 ruang kelas terdapat di tiga propinsi yakni, Daereh Istimewa Yogyakarta (DIY), Sumatera Barat dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Rusak antara 20,1 persen hingga 30 persen sebanyak 4.451 ruang kelas terdapat di tiga propinsi, yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan sedangkan kerusakan lebih dari 30 persen sebanyak 127.130 ruang kelas terdapat di 10 provinsi, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Timur dan Banten.
Lebih lanjut Mudjito mengatakan, dana yang dibutuhkan untuk renovasi satu ruang kelas rata-rata sebesar Rp50 juta namun seiring dengan kemungkinan terjadinya eskalasi harga, maka perhitungan anggaran untuk rehabilitasi ruang kelas rusak sebanyak 135.194 unit pada tahun 2009 mengalami peningkatan dari Rp9,1 triliun menjadi Rp12,4 triliun.
"Depdiknas optimis dengan tuntasnya rehabilitasi ruang kelas rusak pada tahun 2009, maka pada tahun berikutnya diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan (SNP) seperti standar pembiayaan, standar kelulusan siswa dan sebagainya," tambahnya.

sumber : republika newsroom

Bangunan Sekolah Rubuh!mm

Bangunan Sekolah Rubuh!

Sepuluh menit yang lalu saya menonton berita di televisi tentang ambruknya bangunan salah satu kelas di sebuah sekolah dasar. Yang bikin saya geleng-geleng kepala, kejadian ini dialami sebuah sekolah yang terletak di ibukota negara Indonesia! Seandainya ini terjadi di desa atau dusun terpencil, kita masih bisa memaklumi. Tapi ini di Jakarta! Tepatnya di daerah Duren Sawit, Jakarta Timur.

Syukur alhamdulillah tidak ada korban dalam peristiwa ini sebab para guru dengan heroiknya sudah mengantisipasi segala kemungkinan terburuk sejak berbulan-bulan lalu. Semua murid yang belajar di kelas itu sudah diungsikan semua ke kelas lain. Suatu tindakan yang heroik bukan? Tidak usah jauh-jauh cari super hero di Amerika, di Duren Sawit juga banyak!

Sebenarnya para guru sudah berkali-kali melaporkan kondisi bangunan kelas itu kepada Departemen Pendidikan. Namun belum mendapat respon. Sekedar informasi, bangunan itu usianya sudah 35 tahun dan belum pernah mendapatkan perawatan atau renovasi secara khusus. Hanya dilakukan beberapa kali perbaikan kecil saja.
Hingga akhirnya hari ini, 6 Agustus 2008, kayu penyangga atap kelas itu pun tak kuat lagi menahan beban. Kayu lapuk itu menyerah. Dia patah dan semuanya pun tumpah…
Untuk antisipasi pihak guru yang menghindarkan adanya korban, patut diacungi jempol.

Untuk Departemen Pendidikan setempat yang tidak pedulian, patut diacungi pistol!

Sumber: http://www.elvinmiradi.com/bangunan-sekolah-rubuh/index.html

Program Rehab Sekolah Rusak Mandeg

Program Rehab Sekolah Rusak Mandeg

Sunday, 24 May 2009
SURABAYA(SI) – Ironis.Nasib ribuan sekolah rusak di Jatim bakal terkatung-katung.Pasalnya,pembangunan maupun rehab sekolah rusak di Jatim mandeg.Bahkan, Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim tidak memiliki prioritas pembangunan di setiap jenjang.
Kepala Dindik Jatim Suwanto menuturkan, pihaknya sampai saat ini belum tahu plafon anggaran untuk pembangunan dan rehab sekolah rusak.Akibatnya,Dindik tidak bisa melanjutkan proyek rehab sekolah rusak.Padahal beberapa bulan terakhir banyak sekolah ambruk di Jatim. ”Kami masih menunggu berapa plafon yang ada. Sampai saat ini secara rinci saya tidak tahu jumlah anggaran yang ada,” ujar Suwanto kemarin. Parahnya lagi, Dindik Jatim juga tidak mengetahui mana prioritas tingkat sekolah yang dijadikan sasaran.

Sebab, kondisi yang ada di sekolah dasar (SD) cukup memprihatinkan. Sementara tingkat SMP dan SMA juga mengalami kondisi yang sama. Suwanto sendiri tidak bisa berbuat apa-apa sebelum ada kepastian anggaran yang diberikan Pemprov Jatim dalam kucuran APBD 2009. ”Jadi kami melihat dulu berapa jumlah yang tepat untuk melakukan rehab serta pembangunan sekolah rusak di Jatim,” ungkap Mantan Kepala Dinas Informasi dan Komunikasi (Infokom) Jatim tersebut. Dari data sebelumnya, tercatat di Jatim ada sekitar 5.373 sekolah yang kondisinya rusak.

Kerusakan sekolah itu masuk kategori rusak berat, sedang, dan ringan.Sekolah rusak tersebut mendesak untuk diperbaiki kalau Pemprov Jatim ingin semua siswa bisa merasakan pendidikan dengan aman. Bahkan, ketika ditanya kapan proses rehab dan pembangunan sekolah rusak Dindik Jatim,Suwanto mengaku tidak mengetahui waktu pelaksanaan. Pihaknya hanya berjanji dalam waktu dekat untuk melakukan perbaikan sekolah rusak. ”Pastinya kami belum bisa janji.

Pokoknya dalam waktu dekat ini,” imbuhnya. Ketua Dewan Pendidikan Jatim Zainuddin Maliki mengatakan, sarana belajar di sekolah termasuk kondisi bangunan yang layak tetap menjadi faktor penentu keberhasilan pendidikan.Sebab,tempat belajar yang nyaman bisa mendukung konsentrasi siswa dalam menerima pelajaran. Kondisi itu berbeda ketika sarana belajar rusak sehingga tidak memadai untuk dipakai.

”Bisa saja kondisi bangunan yang rusak menjadi ancaman dari sisi keselamatan siswa ketika belajar.Belum lagi kalau ada musim hujan yang membanjiri area belajar siswa, ini menjadi tugas penting dan harus dimasukan dalam prioritas pembangunan,” ungkapnya. Untuk itu,Pemprov Jatim maupun Dindik harus bisa konsentrasi dalam mengarap sekolah rusak. Anggota Komisi E DPRD Jatim Kuswiyanto menuturkan, sekolah rusak harusnya menjadi prioritas pembangunan.

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Jatim itu menambahkan,klasifikasi sekolah rusak harus detail. ”Sekolah yang rusak berat harus menjadi prioritas, kemudian sekolah-sekolah yang menghalami kerusakan sedang bisa direnovasi kembali,” kata Kuswiyanto. (aan haryono)
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/241137/37/

Sekolah Ambruk, Pengawas proyek jadi tersangka

Sekolah Ambruk, Pengawas Proyek Jadi Tersangka

Selasa, 31 Maret 2009 | 20:37 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Yulvianus Harjono

BANDUNG, KOMPAS.com - Tim Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bandung Barat menetapkan pengawas teknis proyek rehabilitasi Ruang Kelas SDN Sejahtera IV Agus Suganda sebagai tersangka dalam kasus ambruknya sebagian gedung sekolah itu, Senin (30/3). Pihak kepolisian didesak mengusut tuntas kasus ini.
Kepala Polres Bandung Barat AKBP Baskoro Tri Prabowo membenarkan, polisi saat ini baru menetapkan Agus sebagai satu-satunya tersangka dalam kasus ini. Terlepas dari harapan agar kegiatan belajar mengajar di sekolah ini bisa pulih kembali dan siswa tidak dirugikan, ia berjanji, pihaknya akan mengusut tuntas kasus ini.
Penanganan oleh polisi terkait dugaan pidananya, ucapnya. Menurut keterangan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polre Bandung Barat AKP Reynold Hutagalung, dari tersangka, polisi juga menyita sejumlah barang bukti, yaitu papan proyek, bahan-bahan material berupa kayu bekas yang dipakai kembali, dan dokumen lain.

Kepada tersangka ini diancamkan Pasal 387 ayat (1) dan (2) Subsider Pasal 201 huruf e Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman 7 tahun penjara. Polisi dalam waktu dekat akan memanggil Kepala Sekolah SDN Sejahtera IV Fatimah Mahroji yang ikut bertindak sebagai penanggung jawab proyek. Fatimah yang diketahui adalah isteri dari Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji saat ini tengah menjalani ibadah umroh.

Dari pemeriksaan terungkap bahwa Agus bersama-sama dengan pihak sekolah itu menambah alokasi perbaikan ruang kelas. Dari sedianya hanya delapan kelas, menjadi 13 ruang kelas ditambah sejumlah kamar mandi dan ruang penjaga sekolah.

Menurut Kepala Bidang Pendidikan TK dan SD Disdik Kota Bandung Ende Mutaqien, meski sebetulnya tiap kelas dialokasikan tetap Rp 40 juta untuk rehabilitasi, atas kesepakatan bersama dari sekolah dan pelaksana, penambahan alokasi ruang yang diperbaiki dimungkinkan. Asal, itu tidak kurang, dari seharusnya delapan menjadi tujuh, misalnya, ucapnya.

Ditemui terpisah, Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf mengaku prihatin atas kasus ambruknya gedung SDN Sejahtera IV ini. Ia berhar ap, polisi mengusut tuntas kasus ini, jika memang ada indikasi pelanggaran hukum di dalamnya. Bersamaan proses hukum dari kepolisian, ia juga menginstruksikan Badan Pengawas Daerah (Bawasda) agar turun tangan ikut memeriksa kasus ini.

Sangat prihatin saya. Ini harus diusut tuntas. Karena, bagaimanapun, dana role sharing yang digunakan untuk bangun sekolah ini ini kan bersumber dari masyarakat, ucapnya. Ia pun berharap, Dinas Pendidikan Kota Bandung tidak lepas tangan begitu saja dalam kasus ini. Mengingat, meskipun program ini dikelola secara swakelola, Pemkot Bandung juga ikut bertanggung jawab mengawasi pelaksanaannya.

Bangunan di SDN Sejahtera IV Kota Bandung, ambruk pada Senin (30/3) pagi sekitar Pukul 09.15 WIB. Padahal, bangunan ini baru saja selesai direhabilitasi dengan dana bantuan role sharing dari Pemprov Jabar senilai Rp 320 juta.

Sumber: Kompas.Com
http://kompas.co.id/read/xml/2009/03/31/20375542/sekolah.ambruk.pengawas.proyek.jadi.tersangka

Laporan wartawan KOMPAS Yulvianus Harjono

BANDUNG, KOMPAS.com - Tim Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bandung Barat menetapkan pengawas teknis proyek rehabilitasi Ruang Kelas SDN Sejahtera IV Agus Suganda sebagai tersangka dalam kasus ambruknya sebagian gedung sekolah itu, Senin (30/3). Pihak kepolisian didesak mengusut tuntas kasus ini.
Kepala Polres Bandung Barat AKBP Baskoro Tri Prabowo membenarkan, polisi saat ini baru menetapkan Agus sebagai satu-satunya tersangka dalam kasus ini. Terlepas dari harapan agar kegiatan belajar mengajar di sekolah ini bisa pulih kembali dan siswa tidak dirugikan, ia berjanji, pihaknya akan mengusut tuntas kasus ini.
Penanganan oleh polisi terkait dugaan pidananya, ucapnya. Menurut keterangan Kepala Satuan Reserse Kriminal Polre Bandung Barat AKP Reynold Hutagalung, dari tersangka, polisi juga menyita sejumlah barang bukti, yaitu papan proyek, bahan-bahan material berupa kayu bekas yang dipakai kembali, dan dokumen lain.

Kepada tersangka ini diancamkan Pasal 387 ayat (1) dan (2) Subsider Pasal 201 huruf e Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman 7 tahun penjara. Polisi dalam waktu dekat akan memanggil Kepala Sekolah SDN Sejahtera IV Fatimah Mahroji yang ikut bertindak sebagai penanggung jawab proyek. Fatimah yang diketahui adalah isteri dari Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji saat ini tengah menjalani ibadah umroh.

Dari pemeriksaan terungkap bahwa Agus bersama-sama dengan pihak sekolah itu menambah alokasi perbaikan ruang kelas. Dari sedianya hanya delapan kelas, menjadi 13 ruang kelas ditambah sejumlah kamar mandi dan ruang penjaga sekolah.

Menurut Kepala Bidang Pendidikan TK dan SD Disdik Kota Bandung Ende Mutaqien, meski sebetulnya tiap kelas dialokasikan tetap Rp 40 juta untuk rehabilitasi, atas kesepakatan bersama dari sekolah dan pelaksana, penambahan alokasi ruang yang diperbaiki dimungkinkan. Asal, itu tidak kurang, dari seharusnya delapan menjadi tujuh, misalnya, ucapnya.

Ditemui terpisah, Wakil Gubernur Jabar Dede Yusuf mengaku prihatin atas kasus ambruknya gedung SDN Sejahtera IV ini. Ia berhar ap, polisi mengusut tuntas kasus ini, jika memang ada indikasi pelanggaran hukum di dalamnya. Bersamaan proses hukum dari kepolisian, ia juga menginstruksikan Badan Pengawas Daerah (Bawasda) agar turun tangan ikut memeriksa kasus ini.

Sangat prihatin saya. Ini harus diusut tuntas. Karena, bagaimanapun, dana role sharing yang digunakan untuk bangun sekolah ini ini kan bersumber dari masyarakat, ucapnya. Ia pun berharap, Dinas Pendidikan Kota Bandung tidak lepas tangan begitu saja dalam kasus ini. Mengingat, meskipun program ini dikelola secara swakelola, Pemkot Bandung juga ikut bertanggung jawab mengawasi pelaksanaannya.

Bangunan di SDN Sejahtera IV Kota Bandung, ambruk pada Senin (30/3) pagi sekitar Pukul 09.15 WIB. Padahal, bangunan ini baru saja selesai direhabilitasi dengan dana bantuan role sharing dari Pemprov Jabar senilai Rp 320 juta.

Sumber: Kompas.Com
http://kompas.co.id/read/xml/2009/03/31/20375542/sekolah.ambruk.pengawas.proyek.jadi.tersangka

Hasil UN untuk Masuk PTN

Hasil UN untuk Masuk PTN

Hasil ujian nasional SMA dan madrasah aliyah ditargetkan menjadi bahan pertimbangan untuk masuk ke perguruan tinggi negeri pada 2012. Karena itu, selama tiga tahun ke depan, kredibilitas UN akan ditingkatkan agar bisa diterima kalangan perguruan tinggi.

”Pola demikian akan efisien dari segi biaya dan tak ada duplikasi penyelenggaraan tes,” kata Burhanuddin Tolla, Kepala Pusat Penilaian Pendidikan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, Rabu (7/1).

Untuk meningkatkan kredibilitas ini, maka kualitas soal ujian, penyelenggaraan, dan pengawasan UN akan terus ditingkatkan sehingga tidak ada lagi kecurangan yang dilakukan peserta UN.

”Dalam kurun waktu tiga tahun ke depan, kredibilitas pelaksanaan ujian nasional SMA/MA diharapkan sudah mantap diterima kalangan perguruan tinggi sebagai salah satu pertimbangan seleksi masuk mahasiswa baru,” kata Burhanuddin.

Meskipun hasil UN akan dimanfaatkan untuk salah satu pertimbangan masuk perguruan tinggi, kata Burhanuddin, materi soal-soal ujian tidak berbeda dari tahun-tahun sebelumnya, mulai dari soal yang mudah, sedang, dan sulit.

”Ini kan masih tahap awal untuk melihat bagaimana hasil UN bisa dipakai untuk mengukur prestasi belajar siswa yang tidak diragukan pihak mana pun,” ujar Burhanuddin.

Tak perlu tes

Jika kredibilitas UN sudah dipercaya perguruan tinggi, ke depannya tidak perlu lagi ada tes massal, seperti seleksi nasional perguruan tinggi negeri (SNMPTN) yang bertujuan menguji kemampuan prestasi belajar calon mahasiswa. Kalaupun dilakukan tes, hanyalah tes bakat skolastik untuk mengetahui potensi calon mahasiswa yang memilih bidang studi tertentu di perguruan tinggi, serta bisa juga tes khusus yang dibutuhkan masing-masing perguruan tinggi, seperti tes warna untuk masuk jurusan atau fakultas tertentu.

”Ini juga akan menghemat biaya yang ditanggung masyarakat dan negara karena tidak terlalu banyak tes,” kata Burhanuddin.

Menurut dia, pengakuan hasil UN oleh perguruan tinggi itu memiliki manfaat positif untuk masyarakat. Sebab, hasil evaluasi belajar siswa SMA/MA juga diperhitungkan sebagai bagian dari proses seleksi mahasiswa baru.

S Hamid Hasan, Ketua Umum Himpunan Pengembang Kurikulum Indonesia, mengatakan, memakai hasil UN untuk salah satu pertimbangan masuk ke perguruan tinggi merupakan ide yang baik. Asal, konsep dari UN itu bukan sebagai penentu kelulusan seperti yang dipertahankan pemerintah sekarang ini.

Menurut Hasan, jika hasil UN ini hendak dipakai sebagai salah satu pertimbangan seleksi mahasiswa baru, pembuatan soal harus dikerjakan oleh perkumpulan perguruan tinggi atau lembaga tes independen. Keterlibatan perguruan tinggi jangan hanya sekadar pada pengawasan UN.

Epon Kurniasih, Kepala SMAN 10 Bandung, mengatakan, upaya untuk meningkatkan kredibilitas UN yang hasilnya tidak diragukan masyarakat tentu saja disambut baik siswa dan sekolah. Namun, sekolah tetap berharap supaya proses belajar siswa selama tiga tahun itu ti- dak ditentukan hasil UN semata.

Persiapan untuk menghadapi UN, kata Epon, sudah mulai dilakukan sekolah. Pemantapan mata pelajaran yang masuk UN dilakukan guru-guru bidang studi supaya siswa mampu mencapai nilai minimal yang ditetapkan secara nasional.

Sumber: Kompas.com.(ELN)
Edisi: Kamis, 8 Januari 2009

Waduh, Hasil UN Ditolak buat Masuk PTN!

Waduh, Hasil UN Ditolak buat Masuk PTN!

Jumat, 8 Mei 2009 | 16:26 WIB
Laporan wartawan KOMPAS Yulvianus Harjono
BANDUNG, KOMPAS.com — Rektor-rektor Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Bandung menilai, rencana dijadikannya hasil Ujian Nasional (UN) sebagai salah satu alat ukur seleksi calon mahasiswa masuk PTN belum bisa diterapkan. Di sisi lain, pemerintah optimistis rencana ini bisa dilaksanakan tahun 2010.
Penolakan itu disampaikan secara tegas oleh Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) Djoko Santoso dan Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Sunaryo Kartadinata dalam jumpa pers di sela-sela seminar nasional memperingati Hari Pendidikan Nasional, Kamis (7/5) kemarin di Kampus UPI.
”Mengapa belum bisa? Sebab, saat ini belum terlihat adanya niatan baik dari para peserta dan pendidiknya mengikuti UN. Kalau sudah ada (niat baik) dan hasilnya dari kejujuran, bisa dipertanggungjawabkan, mungkin bisa dipertimbangkan,” ujar Djoko Santoso, yang juga Ketua Majelis Rektor PTN. Hingga saat ini, ujarnya, masih banyak terjadi kasus kecurangan dalam penyelenggaraan UN di daerah.

Sunaryo Kartadinata mengatakan, fungsi UN lebih sebagai alat ukur keberhasilan siswa, bukan alat seleksi prediktif untuk mengukur kemampuan calon siswa. ”Apalagi, tidak setiap siswa peserta UN itu berniat melanjutkan ke PTN. Tidak bisa disamakan tujuannya,” ucapnya.

Dalam kesempatan ini, pakar pendidikan, Arief Rachman, mengatakan, wajar jika PTN menolak hasil UN sebagai salah satu alat ukur seleksi mahasiswa baru. Sebab, tiap-tiap PTN memiliki standar, ukuran, dan keperluan sendiri terhadap calon mahasiswa yang dicarinya. Tidak bisa disamaratakan satu sama lain.

”Bentuknya saja beda, kan? Ujian dan seleksi itu jelas hal yang berbeda,” ujar Arief. Ia menilai kasus kecurangan UN lebih banyak yang tidak terungkap daripada yang muncul di permukaan.

Mulai 2010
Dalam kesempatan yang sama, Herwindo Haribowo, Staf Ahli Menteri Pendidikan Nasional Bidang Kerja Sama Internasional dan Hukum, mengatakan, kasus kecurangan UN tahun ini lebih sedikit dari sebelum-sebelumnya, turun hampir 100 persen.

”Sekarang ini yang diindikasikan paling 22 kasus, tahun lalu kan bisa sampai 40-an,” ucapnya. Namun, ia mengakui penyelenggaraan UN masih perlu penyempurnaan.

Pada tahun 2010, ia optimistis UN sudah dapat dijadikan salah satu alat ukur seleksi mahasiswa baru di perguruan tinggi negeri.
”Kalau kredibilitas UN semakin baik, saya pikir tidak lagi ada alasan para rektor PTN menolaknya,” ujarnya.
Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/05/08/16260314/waduh.hasil.un.ditolak.buat.masuk.ptn

Evaluasi Sementara, UN Masih Banyak "Kerikilnya"

Evaluasi Sementara, UN Masih Banyak "Kerikilnya"


JAKARTA, KOMPAS.com - Secara umum, pelaksanaan Ujian Nasional (UN) SMP/Sederajat dan SMA/Sederajat berjalan lancar dan berhasil dengan tingkat keberhasilan hingga 85 persen. Hal itu dipaparkan oleh Prof. Dr. Mungin Eddy Wibowo, ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) siang tadi (Senin/4/5) dalam evaluasi hasil pemantauan dan laporan sementara dari berbagai pihak terkait UN.
Menurut Mungin, secara umum kedua pelaksanaan UN tersebut berjalan lancar dan dikatakan berhasil hingga 85 persen. "Tetapi secara khusus kami akui pula bahwa masih ada beberapa permasalahan yang perlu diperbaiki dan diantisipasi untuk pelaksanaan UN mendatang, terutama yang sudah dekat yaitu UASBN," ujar Mungin, kepada wartawan di kantor Depdiknas, Jakarta, (4/5).
Beberapa hasil evaluasi itu antara lain misalnya kualitas penyetakan naskah UN yang ditetapkan oleh Panitia Penyelenggara Provinsi, yang dalam pengemasannya terjadi kekurangan halaman, tertukar soal yaitu soal untuk Paket B masuk ke Paket A dan sebaliknya, serta pengiriman naskah soal yang tidak disertai Lembar Jawaban Ujian Nasional (LJUN).
Selain itu, kualitas LJUN yang kurang baik pun menjadi evaluasi BSNP. Ada juga laporan, masih menurut Mungin, bawah kualitas kertas LJUN yang tidak baik. Tetapi setelah ditelusuri di lapangan, banyak kertas LJUN sobek atau rusak, yang kemungkinan besar akibat dihapus terlalu keras oleh peserta UN.
Soal penyimpanan naskah soal UN menjelang UN dilaksanakan pun menjadi bahan evaluasi. Mungin menyayangkan, bahwa penyimpanan soal masih ada yang dilakukan di sekolah atau madrasah.
"Meskipun dijaga ketat oleh polisi hal itu tidak dibenarkan. Mestinya soal tetap disimpan di Kabupaten atau Kota, Polres atau Polsek terdekat letaknya dengan Satuan Pendidikan sebagai penyelenggara UN, dan itu pun dikawal oleh pihak keamanan dan tim pemantau UN yang telah ditunjuk," tandas Mungin.
Mungin menambahkan, dalam pelaksanaan UN tahun 2009 ini BSNP masih menemui banyak "kerikil" yang perlu diantisipasi bagi pelaksanaan UN selanjutnya. Dan yang paling dekat, adalah pelaksanaan UASBN untuk tingkat SD/Sederajat yang akan berlangsung pekan depan (11 - 13 Mei 2009) serentak di seluruh Indonesia.
Ihwal evaluasi terhadap kualitas hasil cetak soal UN, Mungin mengatakan BSNP akan meninjau dan mengkaji ulang penetapan naskah ujian oleh percetakan yang sudah ditetapkan oleh Penyelenggara UN tingkat Provinsi. "Apakah nanti akan dilakukan dengan tender terbuka atau tidak, itu sedang kami pelajari lagi," ujarnya.

Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/05/04/16554358/evaluasi.sementara.un.masih.banyak.kerikilnya.

DPR: Hapus UN

DPR: Hapus UN

Perguruan Tinggi Negeri (PTN) melihat, bahwa pelaksanaan Ujian Nasional (UN) hingga saat ini masih butuh pembenahan yang serius, terutama dari segi kredibilitasnya.


JAKARTA, KOMPAS.com — Ujian Nasional menimbulkan banyak soal yang terus berulang setiap tahun. Berkait dengan itu, Komisi X mendesak pemerintah meniadakan UN dan mengembalikannya kepada Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional, yaitu ujian dari masing-masing sekolah dengan penyesuaian soal dari pusat.

Demikian diungkapkan Wakil Ketua Komisi X Heri Ahmadi dalam jumpa pers Evaluasi Pelaksanaan UN di Ruang Pers Gedung Nusantara III DPR RI. "Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional itu pernah diusulkan tapi ditolak. Tapi untuk SD, pemerintah mendengarkan usulan kami untuk melaksanakan ujian sekolah bukan ujian nasional," kata Heri.

Lebih lanjut ia menjelaskan mengapa penghapusan UN perlu dilakukan. "Hal yang paling mendasar, berdasarkan Pasal 28 ayat 1 UU No 23 Tahun 2003 dikatakan kewenangan untuk menilai berada pada pendidik. Jadi, bukan oleh birokrat," kata Heri.

Selain itu, dengan dikembalikannya evaluasi pada ujian sekolah maka biaya ujian akan terpangkas banyak. Menurut data Komisi X, diperkirakan Rp 500 miliar dihabiskan untuk UN tahun ini.

Dengan melaksanakan ujian sekolah, ia menambahkan, akan merangsang pelaksanaan UU guru dan dosen. Bagian dari undang-undang itu yang dimaksud adalah bagian yang mengatakan bahwa guru adalah profesi. Dengan demikian, kualitas guru harus ditingkatkan. Hal ini terkait dengan standar pendidikan yang berbeda di tiap wilayah.

Pada kesempatan yang sama anggota Komisi X Siprianus Aur mengatakan bahwa pendidikan di Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak bisa disamakan begitu saja dengan di Jakarta. Ujian Nasional membuat anak-anak di NTT kelabakan. "Maka yang perlu dilakukan adalah peningkatan kualitas pendidiknya," kata Siprianus yang berasal dari Dapil NTT.

Beberapa soal yang timbul dalam UN sebagaimana ditemukan Komisi X dan diungkap Heri, di antaranya guru bidang studi yang sedang diiujikan berada di ruang ujian, terjadi kebocoran soal ujian, orangtua dibebani pengeluaran tambahan untuk bimbingan belajar, dan beberapa anak stres dalam UN.

Di akhir acara, Heri memberi komentar khusus terhadap fenomena anak stres dalam UN ini. "Anak-anak seharusnya diajarkan bagaimana belajar secara berkelanjutan. Tidak perlu dituntut banyak menghafal dan didesak dengan begitu banyaknya materi. Materi pelajaran mesti dikurangi," katanya.

Menurut Heri, persoalan yang diungkap pada hari ini akan menjadi rapat Komisi X minggu depan

Sumber: http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/04/30/1332037/dpr.hapus.un

UASBN SD Masih Berjalan Lancar

UASBN SD Masih Berjalan Lancar


MEDAN(SI) – Hari kedua pelaksanaan ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) sekolah dasar (SD) di Kota Medan secara umum berjalan lancar. Meski begitu pengawasan ujian tetap dilakukan.

Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan Hasan Basri menyatakan,sejatinya belum ada temuan yang mengecewakan soal kecurangan UASBN. Ini merupakan hasil pemantauannya selama dua hari, sejak Senin (11/5) hingga Selasa (12/5). Keyakinan ini diperkuat belum adanya laporan tertulis dari pengawas ujian tentang indikasi kecurangan.“ Hingga saat ini belum ada laporan tentang hal itu.Kami hanya bisa menindaklanjuti laporan tertulis dari pengawas.Kita tunggu saja,” ujarnya di ruang kerjanya kemarin.

Pelaksanaan pengawasan UASBN dilakukan secara silang. Artinya,yang boleh ada di lokasi hanya kepala sekolah dan tata usaha, selebihnya hanya pengawas. Mantan guru SMP Negeri 16 ini menambahkan bahwa pengawasan materi soal ujian sangat ketat dilakukan.“ Dikawal oleh pihak kepolisian dari provinsi.Jadi,kalau masih ada kecurangan,kami sangat sesalkan dan tidak bisa menoleransi hal itu,”tandasnya. Namun,keyakinan Hasan itu juga dibarengi pengawasan ketat,misalnya inspeksi mendadak.

Salah satu contohnya kemarin. Dia mengunjungi SD Harapan dan SD 100 Medan Amplas.Dua hari sebelumnya, dia juga sempat mendatangi SD Percobaan dan SD Medan Johor. “Semuanya baik-baik saja dan berjalan lancar,”ungkapnya. Sementara itu, di tempat terpisah, Ketua Panitia UASBN Sumut HM Hermasyur menyatakan, soal indikasi kecurangan dalam pelaksanaan UASBN merupakan pertaruhan harga diri tenaga pendidik. Dia mengungkapkan,sebagai tenaga pendidik, guru harus menunjukkan moral yang baik kepada siswanya.

Guru harus tetap menjunjungnilaikejujuranyangbenaryang selama ini selalu dikumandangkan. “Kalau ada guru yang membantu siswanya mengerjakan soal-soal UASBN dengan memberikan kunci jawaban, artinya guru itu telah mengajarkan kepada siswanya untuk berbuat hal yang tidak baik. Di sinilah diuji tingkat moral para guru itu,apakah lebih memikirkan gengsi sekolah atau moral anak bangsa untuk masa depan,”ungkapnya. Hermansyur menambahkan, tujuan utama UASBN untuk mengetahui pencapaian kompetensi lulusan siswa SD secara nasional.

Terutama pada mata pengajaran bahasa Indonesia, matematika, dan ilmu pengetahuan alam (IPA). “Jadi, kalau ada pihak-pihak yang mengatakan USBN sebaiknya dihapuskan saja, itu tidak tepat.Bagaimana kita akan menentukan arah langkah pendidikan kita ke masa yang akan datang kalau dari sekarang tidak memiliki dasar sebagai patokan,”paparnya.

Hasil UASBN ini akan sangat bermanfaat bagi dunia pendidikan karena menyangkut empat hal pokok, yakni pemetaan mutu program pada satuan pendidikan,dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya, penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan, juga menjadi dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan. “Di antara keempat hasil UASBN tersebut, akan terlihat denganjelasmutupendidikandasarkita di seluruh Indonesia,”paparnya.

Meski disebut pelaksanaan UASN berjalan lancar,menyeruak kabar ada kecurangan. Ini terkuak saat salah seorang murid SD di salah satu sekolah ternama di Jalan Brigjen Katamso menyatakan bahwa mendapat jawaban soal saat ujian berlangsung. Hal yang sama juga diduga dialami murid SD Jalan Sei Petani. Begitu dikonfirmasi kepada pihak sekolah di Jalan Brigjen Katamso, mereka menyatakan bahwa hal tersebut tidak benar.“Tidak ada hal itu di sekolah saya, tapi saya tidak tahu kalau dari para pengawas.Siapa tahu ada anaknya yang sekolah di sini.

Namanya juga perhatian. Saya rasa juga sekolah lain ada yang membantu muridnya.Namun, di sini tidak ada,”ungkap pria yang enggan namanya dikorankan saat ditelepon kemarin sore. Dia juga mengaku sempat dihubungi Dinas Pendidikan.“Saya dipanggil pihak yayasan, jadi saya bingung menjawabnya,”pungkasnya. (nina realita)
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/237843/37/

Departemen Pendidikan Akan Evaluasi Kebijakan Pendidikan Nasional

Departemen Pendidikan Akan Evaluasi Kebijakan Pendidikan Nasional


TEMPO Interaktif, Jakarta:Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional Dodi Nandika menyatakan departemen pendidikan akan mengevaluasi kebijakan pendidikan mulai 2005 hingga 2008.

Evaluasi nasional itu, kata Dodi, akan dihadiri lebih dari 770 peserta, terdiri dari pengambil kebijakan pendidikan seperti Komisi Pendidikan DPR, kepala dinas pendidikan provinsi, kepala dinas pendidikan kabupaten/kota seluruh Indonesia, rektor perguruan tinggi negeri.

Diundang pula koordinator perguruan tinggi swasta, direktur politeknik/pendidikan tinggi, kepala unit pelaksana teknis Depdiknas, Badan Standar Nasional Pendidikan, Badan Akreditasi Pendidikan, Atase pendidikan dan kebudayaan di luar negeri, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO, serta Persatuan Guru Republik Indonesia.

"Daerah diminta melaporkan capaian masing-masing. Hasil evaluasi akan digunakan dalam penetapan program pendidikan 2010," kata Dodi.

Peserta rembik, ia menjelaskan, akan dibagi dalam delapan komisi dengan topic bahasan yang berbeda-beda yaitu Wajib belajar, pendidikan dasar gratis dan standar pelayanan minimal; Peningkatan layanan pendidikan menengah; Perluasan dan pemerataan akses pendidikan tinggi bermutu dan berdaya saing internasional; Peningkatan mutu dan pemerataan pendidik non formal dan informal, peningkatan layanan pendidikan nonformal dan informal; Peningkatan mutu pengendalian internal; Penguatan tata kelola; dan Pemantapan naskah renana strategis Depdiknas 2010-2014.

Rembuk, lanjut Dodi, juga akan mengundang Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus dalam sesi khusus Good Governance dalam pengelolaan keuangan negara.

http://www.tempointeraktif.com/hg/pendidikan/2009/02/20/brk,20090220-161175,id.html

EVALUASI PEMBELAJARAN YANG MEMBELAJARKAN

EVALUASI PEMBELAJARAN YANG MEMBELAJARKAN

Evaluasi merupakan kegiatan pengumpulan kenyataan mengenai proses pembelajaran secara sistematis untuk menetapkan apakah terjadi perubahan terhadap peserta didik dan sejauh apakah perubahan tersebut mempengaruhi kehidupan peserta didik. (dikutip dari Bloom et.all 1971).
Stufflebeam et.al 1971 mengatakan bahwa evaluasi adalah proses menggambarkan, memperoleh dan menyajikan informasi yang berguna untuk menilai alternatif keputusan.
Evaluasi sendiri memiliki beberapa prinsip dasar yaitu ;
1. Evaluasi bertujuan membantu pemerintah dalam mencapai tujuan pembeljaran bagi masyrakat.
2. Evaluasi adalah seni, tidak ada evaluasi yang sempurna, meski dilkukan dengan metode yang berbeda.
3. Pelaku evaluasi atau evaluator tidak memberikan jawaban atas suatu pertanyaan tertentu. Evaluator tidak berwennag untuk memberikan rekomendasi terhadap keberlangsungan sebuah program. Evaluator hanya membantu memberikan alternatif.
4. Penelitian evaluasi adalah tanggung jawab tim bukan perorangan.
5. Evaluator tidak terikat pada satu sekolah demikian pula sebaliknya.
6. evaluasi adalah proses, jika diperlukan revisi maka lakukanlah revisi.
7. Evaluasi memerlukan data yang akurat dan cukup, hingga perlu pengalaman untuk pendalaman metode penggalian informasi.
8. Evaluasi akan mntap apabila dilkukan dengan instrumen dan teknik yang aplicable.
9. Evaluator hendaknya mampu membedakan yang dimaksud dengan evaluasi formatif, evaluasi sumatif dan evaluasi program.
10. Evaluasi memberikan gambaran deskriptif yang jelas mengenai hubungan sebab akibat, bukan terpaku pada angka soalan tes.
Dengan demikian dapat dimengerti bahwa sesungguhnya evaluasi adalah proses mengukur dan menilai terhadap suatu objek dengan menampilkan hubungan sebab akibat diantara faktor yang mempengaruhi objek tersebut.
Tujuan evaluasi adalah untuk melihat dan mengetahui proses yang terjadi dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran memiliki 3 hal penting yaitu, input, transformasi dan output. Input adalah peserta didik yang telah dinilai kemampuannya dan siap menjalani proses pembelajaran.
Transformasi adalah segala unsur yang terkait dengan proses pembelajaran yaitu ; guru, media dan bahan beljar, metode pengajaran, sarana penunjang dan sistem administrasi. Sedangkan output adalah capaian yang dihasilkan dari proses pembelajaran.
Evaluasi pendidikan memiliki beberapa fungsi yaitu ;
1. Fungsi selektif
2. Fungsi diagnostik
3. Fungsi penempatan
4. Fungsi keberhasilan
Maksud dari dilakukannya evaluasi adalah ;
1. Perbaikan sistem
2. Pertanggungjawaban kepada pemerintah dan masyarakat
3. Penentuan tindak lanjut pengembangan
PRINSIP PRINSIP EVALUASI
1. Keterpaduan
2. evauasi harus dilakukan dengan prinsip keterpaduan antara tujuan intrusional pengajaran, materi pembelajaran dan metode pengjaran.
3. Keterlibatan peserta didik
4. prinsip ini merupakan suatu hal yang mutlak, karena keterlibatan peserta didik dalam evaluasi bukan alternatif, tapi kebutuhan mutlak.
5. Koherensi
6. evaluasi harus berkaitan dengan materi pengajaran yang telah dipelajari dan sesuai dengan ranah kemampuan peserta didik yang hendak diukur.
7. Pedagogis
8. Perlu adanya tool penilai dari aspek pedagogis untuk melihat perubahan sikap dan perilaku sehingga pada akhirnya hasil evaluasi mampu menjadi motivator bagi diri siswa.
9. Akuntabel
10. Hasil evaluasi haruslah menjadi aalat akuntabilitas atau bahan pertnggungjawaban bagi pihak yang berkepentingan seeprti orangtua siswa, sekolah, dan lainnya.
TEKNIK EVALUASI
Teknik evaluasi digolongkan menjadi 2 yaitu teknik tes dan teknik non Tes.
1. Teknik non tes meliputi ; skala bertingkat, kuesioner,daftar cocok, wawancara, pengamatan, riwayat hidup.
a. Rating scale atau skala bertingkat menggambarkan suatu nilai dalam bentuk angka. Angka-angak diberikan secara bertingkat dari anggak terendah hingga angkat paling tinggi. Angka-angka tersebut kemudian dapat dipergunakan untuk melakukan perbandingan terhadap angka yang lain.
b. Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang terbagi dalam beberapa kategori. Dari segi yang memberikan jawaban, kuesioner dibagi menjadi kuesioner langsung dan kuesioner tidak langsung. Kuesioner langsung adalah kuesioner yang dijawab langsung oleh orang yang diminta jawabannya. Sedangkan kuesiioner tidak langsung dijawab oleh secara tidak langsung oleh orang yang dekat dan mengetahui si penjawab seperti contoh, apabila yang hendak dimintai jawaban adalah seseorang yang buta huruf maka dapat dibantu oleh anak, tetangga atau anggota keluarganya. Dan bila ditinjau dari segi cara menjawab maka kuesioner terbagi menjadi kuesioner tertutup dan kuesioner terbuka. Kuesioner tertututp adalah daftar pertanyaan yang memiliki dua atau lebih jawaban dan si penjawab hanya memberikan tanda silang (X) atau cek (√) pada awaban yang ia anggap sesuai. Sedangkan kuesioner terbuka adalah daftar pertanyaan dimana si penjawab diperkenankan memberikan jawaban dan pendapat nya secara terperinci sesuai dengan apa yang ia ketahui.
c. Daftar cocok adalah sebuah daftar yang berisikan pernyataan beserta dengan kolom pilihan jawaban. Si penjawab diminta untuk memberikan tanda silang (X) atau cek (√) pada awaban yang ia anggap sesuai.
d. Wawancara, suatu cara yang dilakukan secara lisan yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan tujuan informsi yang hendak digali. wawancara dibagi dalam 2 kategori, yaitu pertama, wawancara bebas yaitu si penjawab (responden) diperkenankan untuk memberikan jawaban secara bebas sesuai dengan yang ia diketahui tanpa diberikan batasan oleh pewawancara. Kedua adalah wawancara terpimpin dimana pewawancara telah menyusun pertanyaan pertanyaan terlebih dahulu yang bertujuan untuk menggiring penjawab pada informsi-informasi yang diperlukan saja.
e. Pengamatan atau observasi, adalah suatu teknik yang dilakuakn dengan mengamati dan mencatat secara sistematik apa yang tampak dan terlihat sebenarnya. Pengamatan atau observasi terdiri dari 3 macam yaitu : (1) observasi partisipan yaitu pengamat terlibat dalam kegiatan kelompok yang diamati. (2) Observasi sistematik, pengamat tidak terlibat dalam kelompok yang diamati. Pengamat telah membuat list faktor faktor yang telah diprediksi sebagai memberikan pengaruh terhadap sistem yang terdapat dalam obejek pengamatan.
f. Riwayat hidup, evaluasi ini dilakukan dengan mengumpulkan data dan informasi mengenai objek evaluasi sepanjang riwayat hidup objek evaluasi tersebut.
2. Teknik tes. Dalam evaluasi pendidikan terdapat 3 macam tes yaitu :
a. tes diagnostik
b. tes formatif
c. tes sumatif
PROSEDUR MELAKSANAKAN EVALUASI
Dalam melaksanakan evaluasi pendidikan hendaknya dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa evaluasi pendidikan secara garis besar melibatkan 3 unsur yaitu input, proses dan out put. Apabila prosesdur yang dilakukan tidak bercermin pada 3 unsur tersebut maka dikhawatirkan hasil yang digambarkan oleh hasil evaluasi tidak mampu menggambarkan gambaran yang sesungguhnya terjadi dalam proses pembelajaran. Langkah-langkah dalam melaksanakan kegiatan evaluasi pendidikan secara umum adalah sebagai berikut :
a. perencanaan (mengapa perlu evaluasi, apa saja yang hendak dievaluasi, tujuan evaluasi, teknikapa yang hendak dipakai, siapa yang hendak dievaluasi, kapan, dimana, penyusunan instrument, indikator, data apa saja yang hendak digali, dsb)
b. pengumpulan data ( tes, observasi, kuesioner, dan sebagainya sesuai dengan tujuan)
c. verifiksi data (uji instrument, uji validitas, uji reliabilitas, dsb)
d. pengolahan data ( memaknai data yang terkumpul, kualitatif atau kuantitatif, apakah hendak di olah dengan statistikatau non statistik, apakah dengan parametrik atau non parametrik, apakah dengan manual atau dengan software (misal : SAS, SPSS )
e. penafsiran data, ( ditafsirkan melalui berbagai teknik uji, diakhiri dengan uji hipotesis ditolak atau diterima, jika ditolak mengapa? Jika diterima mengapa? Berapa taraf signifikannya?) interpretasikan data tersebut secara berkesinambungan dengan tujuan evaluasi sehingga akan tampak hubungan sebab akibat. Apabila hubungan sebab akibat tersebut muncul maka akan lahir alternatif yang ditimbulkan oleh evaluasi itu.
PENUTUP
Proses Evaluasi Pembelajaran perlu mendapat penekanan dalam proses pembelajaran. Evaluasi bukanlah semata-mata untuk mendefinisikan murid yang berhasil dan tidak berhasil, melainkan sebuah proses yang akan memperbaiki mutu pembelajaran dan mengetahui seberapa efektif pembelajaran yang dilakukan.
Sumber: http://istpi.wordpress.com/2008/06/09/evaluasi-pembelajaran-yang-membelajarkan/

EVALUASI PROSES PEMBELAJARAN

EVALUASI PROSES PEMBELAJARAN

A. Sasaran.
Sasaran evaluasi proses pembelajaran adalah pelaksanaan dan pengelolaan pembelajaran untuk memperoleh pemahaman tentang strategi pembelajaran yang dilaksanakan oleh dosen, cara mengajar dan media pembelajaran yang digunakan oleh dosen dalam pembelajaran, serta minat, sikap dan cara/kebiasaan belajar mahasiswa.
B. Tahapan pelaksanaan evaluasi
Tahapan pelaksanaan evaluasi proses pembelajaran adalah penentuan tujuan, menentukan desain evaluasi, pengembangan instrumen evaluasi, pengumpulan informasi/data, analisis dan interpretasi dan tindak lanjut.
1. Menentukan tujuan
Tujuan evaluasi proses pembelajaran dapat dirumuskan dalam bentuk pernyataan atau pertanyaan. Secara umum tujuan evaluasi proses pembelajaran untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan berikut: (1) Apakah strategi pembelajaran yang dipilih dan dipergunakan oleh dosen efektif, (2) Apakah media pembelajaran yang digunakan oleh dosen efektif, (3) Apakah cara mengajar dosen menarik dan sesuai dengan pokok materi sajian yang dibahas, mudah diikuti dan berdampak mahasiswa mudah mengerti materi sajian yang dibahas, (4) Bagaimana persepsi
mahasiswa terhadap materi sajian yang dibahas berkenaan dengan kompetensi dasar yang akan dicapai, (5) Apakah mahasiswa antusias untuk mempelajari materi sajian yang dibahas, (6) Bagaimana mahasiswa mensikapi pembelajaran yang dilaksanakan oleh dosen, (7) Bagaimanakah cara belajar mahasiswa mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan oleh dosen.
2. Menentukan desain evaluasi
Desain evaluasi proses pembelajaran mencakup rencana evaluasi proses dan pelaksana evaluasi. Rencana evaluasi proses pembelajaran berbentuk matriks dengan kolom-kolom berisi tentang: No. Urut, Informasi yang dibutuhkan, indikator, metode yang mencakup teknik dan instrumen, responden dan waktu. Selanjutnya pelaksana evaluasi proses adalah dosen mata kuliah yang
bersangkutan.
3. Penyusunan instrumen evaluasi
Instrumen evaluasi proses pembelajaran untuk memperoleh informasi deskriptif dan/atau informasi judgemental dapat berwujud (1) Lembar pengamatan untuk mengumpulkan informasi tentang kegiatan belajar mahasiswa dalam mengikuti pembelajaran yang dilaksanakan oleh dosen dapat digunakan oleh dosen sendiri atau oleh mahasiswa untuk saling mengamati, dan (2) Kuesioner yang harus dijawab oleh mahasiswa berkenaan dengan strategi pembelajaran yang
dilaksanakan dosen, metode dan media pembelajaran yang digunkan oleh dosen, minat, persepsi maha-siswa tentang pembelajaran untuk suatu materi pokok sajian yang telah terlaksana.
4. Pengumpulan data atau informasi
Pengumpulan data atau informasi dilaksanakan secara obyektif dan terbuka agar diperoleh informasi yang dapat dipercaya dan bermanfaat bagi peningkatan mutu pembelajaran.
Pengumpulan data atau informasi dilaksanakan pada setiap akhir pelaksanaan pembelajaran untuk materi sajian berkenaan dengan satu kompetensi dasar dengan maksud dosen dan mahasiswa memperoleh gambaran menyeluruh dan kebulatan tentang pelaksanaan pembelajaran yang telah dilaksanakan untuk pencapaian penguasaan satu kompetensi dasar.
5. Analisis dan interpretasi
Analisis dan interpretasi hendaknya dilaksanakan segera setelah data atau informasi terkumpul. Analisis berwujud deskripsi hasil evalusi berkenaan dengan proses pembelajaran yang telah terlaksana; sedang interpretasi merupakan penafsiran terhadap deskripsi hasil analisis hasil analisis proses pembelajaran.
Analisis dan interpretasi dapat dilaksanakan bersama oleh dosen dan mahasiswa agar hasil evaluasi dapat segera diketahui dan dipahami oleh dosen dan maha-siswa sebagai bahan dan dasar memperbaiki pembelajaran selanjutnya.
6. Tindak lanjut
Tindak lanjut merupakan kegiatan menindak lanjuti hasil analisis dan interpretasi. Dalam evaluasi proses pembelajaran tindak lanjut pada dasarnya berkenaan dengan pembelajaran yang akan dilaksanakan selanjutnya dan evaluasi pembelajarannya. Pembelajaran yang akan dilaksanakan selanjutnya merupakan keputusan tentang upaya perbaikan pembelajaran yang akan dilaksanakan sebagai upaya peningkatan mutu pembelajaran; sedang tindak lanjut evaluasi pembelajaran berkenan dengan pelaksanaan dan instrumen evaluasi yang telah dilaksanakan
mengenai tujuan, proses dan instrumen evaluasi proses pembelajaran.
Sumber: http://lpp.uns.ac.id

Objek dan Subjek Evaluasi Pendidikan

Objek dan Subjek Evaluasi Pendidikan


BAB I
PENDAHULUAN
Pada awalnya pengertian evaluasi pendidikan selalu dikaitkan dengan prestasi belajar siswa. Definisi yang pertama dikembangkan oleh Ralph Tyler (1950), ahli ini mengatakan bahwa evaluasi merupakan sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai. Jika belum, bagaimana yang belum dan apa sebabnya. Definisi yang lebih luas dikemukakan oleh dua ahli lain, yakni Cronbach dan Stufflebam. Tambahan definisi tersebut adalah bahwa proses evaluasi bukan sekadar mengukur sejauh mana tujuan tercapai, tetapi digunakan untuk membuat keputusan.
Dalam makalah ini penulis mencoba untuk membahas apa yang dimaksud dengan objek dan subjek evaluasi pendidikan, siapa yang disebut dengan objek dan subjek evaluasi pendidikan.
BAB II
OBJEK DAN SUBJEK EVALUASI PENDIDIKAN
A. Objek Evaluasi
Yang dimaksud dengan objek atau sasaran evaluasi pendidikan ialah segala sesuatu yang bertalian dengan kegiatan/proses pendidikan, yang dijadikan titik pusat perhatian/pengamatan, karena pihak penilai/evaluator ingin memperoleh informasi tentang kegiatan/proses pendidikan tersebut. Salah satu cara untuk mengetahui objek dari evaluasi pendidikan adalah dengan jalan menyorotinya dari tiga segi, yaitu segi input; transformasi; dan output.
1. Input
Dalam dunia pendidikan, khususnya dalam proses pembelajaran di sekolah, input tidak lain adalah calon siswa. Calon siswa sebagai pribadi yang utuh, dapat ditinjau dari segi yang menghasilkan bermacam-macam bentuk tes yang digunakan sebagai alat untuk mengukur. Aspek yang bersifat rohani setidak-tidaknya mencakup 4 hal.
a. Kemampuan
Untuk dapat mengikuti program pendidikan suatu lembaga/sekolah/institusi maka calon peserta didik harus memiliki kemampuan yang sepadan atau memadai, sehingga nantinya peserta didik tidak akan mengalami hambatan atau kesulitan. Alat ukur yang digunakan untuk mengukur kemampuan ini disebut Attitude Test.
b. Kepribadian
Kepribadian adalah sesuatu yang terdapat pada diri manusia dan menampakkan bentuknya dalam tingkah laku. Dalam hal-hal tertentu, informasi tentang kepribadian sangat diperlukan, sebab baik-buruknya kepribadian secara psikologis akan dapat mempengaruhi mereka dalam mengikuti program pendidikan. Alat untuk mengetahui kepribadian seseorang disebut Personality Test.
c. Sikap
Sebenarnya sikap ini merupakan bagian dari tingkah laku manusia sebagai gejala atau gambaran kepribadian yang memancar keluar. Namun karena sikap ini merupakan sesuatu yang paling menonjol dan sangat dibutuhkan dalam pergaulan maka informasi mengenai sikap seseorang penting sekali. Alat untuk mengetahui keadaan sikap seseorang dinamakan Attitude Test. Oleh karena tes ini berupa skala, maka disebut dengan Attitude Scale.
d. Inteligensi
Untuk mengetahui tingkat inteligensi seseorang digunakan tes inteligensi yang sudah banyak diciptakan oleh para ahli. Seperti, tes Binet-Simon (buatan Binet dan Simon), SPM, Tintum, dsb. Dari hasil tes akan diketahui IQ (intelligence Qoutient) yaitu angka yang menunjukkan tinggi rendahnya inteligensi seseorang tersebut.
2. Transformasi
Transformasi yang dapat diibaratkan sebagai “mesin pengolah bahan mentah menjadi bahan jadi”, akan memegang peranan yang sangat penting. Ia dapat menjadi faktor penentu yang dapat menyebabkan keberhasilan atau kegagalan dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan yang telah ditentukan; karena itu objek-objek yang termasuk dalam transformasi itu perlu dinilai/dievaluasi secara berkesinambungan. Unsur-unsur dalam transformasi yang menjadi objek penilaian demi diperolehnya hasil pendidikan yang diharapkan antara lain:
a. Kurikulum/materi pelajaran,
b. Metode pengajaran dan cara penilaian,
c. Sarana pendidikan/media pendidikan,
d. Sistem administrasi,
e. Guru dan personal lainnya dalam proses pendidikan.
3. Output
Sasaran evaluasi dari segi output adalah tingkat pencapaian atau prestasi belajar yang berhasil diraih peserta didik setelah mereka terlibat dalam proses pendidikan selama jangka waktu yang telah ditentukan. Alat yang digunakan untuk mengukur pencapaian ini disebut Achievement Test.
B. Subjek Evaluasi
Subjek/pelaku evaluasi adalah orang yang melakukan pekerjaan evaluasi. Siapa yang dapat disebut subjek evaluasi untuk setiap tes ditentukan oleh suatu aturan pembagian tugas atau ketentuan yang berlaku, karena tidak setiap orang dapat melakukannnya.
Dalam kegiatan evaluasi pendidikan di mana sasaran evaluasinya adalah sasaran belajar, maka subjek evaluasinya adalah guru atau dosen yang mengasuh mata pelajaran tertentu. Jika evaluasi yang dilakukan itu sasarannya adalah peserta didik, maka subjek evaluasinya adalah guru atau petugas yang sebelum melaksanakan evaluasi tentang sikap itu, terlebih dahulu telah memperoleh pendidikan atau latihan mengenai cara-cara menilai sikap seseorang. Adapun apabila sasaran yang dievaluasi adalah kepribadian peserta didik, di mana pengukuran tentang kepribadian itu dilakukan dengan menggunakan instrumen berupa tes yang sifatnya baku (Standardized Test), maka subjek evaluasinya tidak bisa lain kecuali seorang psikolog; yaitu seseorang yang memang telah dididik untuk menjadi tenaga ahli yang profesional dibidang psikologi. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa disamping alat-alat evaluasi yang digunakan untuk mengukur kepribadian seseorang itu sifatnya rahasia, juga hasil-hasil pengukuran yang diperoleh dari tes kepribadian itu, hanya dapat diinterpretasi dan disimpulkan oleh para psikolog tersebut, tidak mungkin dapat dikerjakan oleh orang lain.
C. Pengukuran Bidang Kognitif, Afektif dan Psikomotorik
1. Kompetensi Guru
Dalam proses belajar mengajar, guru merupakan sebuah komponen yang mempengaruhi belajar siswa. Guru mempunyai pengaruh yang besar terhadap belajar dan tingkah laku siswa di dalam kelas. Sebagai manusia, dalam dirinya, seorang guru mempunyai 2 aspek yaitu kompetensi dan kepribadian. Kedua aspek tersebut berpengaruh terhadap jati dirinya sebagai seorang guru dan pendidik.
a. Kompetensi
Kompetensi dapat didefinisikan sebagai kemampuan yang dimiliki oleh seseorang. Terkait dengan peranan yang dimiliki oleh seorang guru dalam proses belajar mengajar, kompetensi guru adalah kemampuan guru tersebut mengajar dan mendidik siswanya. Kompetensi guru dibagi menjadi 3 yaitu kompetensi/kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik.
1) Kompetensi/kemampuan kognitif.
Kompetensi/kemampuan kognitif guru adalah kemampuan guru di mana ia mengatur dan mengembangkan kemampuan berpikirnya. Kompetensi ini berhubungan dengan kemampuan penguasaan guru terhadap materi pembelajaran. Artinya, kemampuan tersebut digunakan untuk mengidentifikasi materi mana yang harus disampaikan kepada siswa, memilih materi yang cocok dan sesuai, serta menerapkan metode mengajar yang sesuai dan pemikiran yang kreatif. Dalam proses belajar mengajar, kompetensi guru sangat berpengaruh karena meliputi sejumlah kemampuan dalam penerapan metode mengajar yang juga akan membawa pengaruh dalam kelas. Guru yang menguasai materi dan kreatif akan dapat menciptakan kelas yang termotivasi tinggi sehingga proses peningkatan keterlibatan siswa menjadi terdukung.
2) Kompetensi afektif.
Kompetensi ini merupakan kemampuan guru dalam melibatkan aspek kemanusiaan dalam mendidik siswa. Aspek kemanusiaan tersebut adalah cinta (love), pengertian (understanding), kesabaran (patience), dan penghargaan (appreciation) yang ia berikan kepada siswa. Sebagai makhluk Tuhan, siswa tidak hanya sebagai subyek pembelajaran, tetapi mereka juga manusia yang mempunyai hati dan perasaan. Guru yang penuh cinta, kepedulian, dan pengertian akan membuat siswanya senang dan termotivasi untuk belajar. Sebaliknya, guru yang kejam dan mempunyai kewenangan tinggi dan suka meremehkan siswanya akan membuat siswa kurang termotivasi dan merasa tidak nyaman saat belajar.
3) Kompetensi psikomotor
Kompetensi atau kemampuan psikomotor adalah kompetensi guru dalam menggerakkan tubuhnya dan melakukan sesuatu kegiatan sebagai hasil kerja otak dan pikiran. Kompetensi seperti ini dapat dibentuk kemampuan guru dalam mengajar saat proses belajar mengajar berlangsung.
b. Kepribadian
Kepribadian seorang guru juga mempunyai pengaruh yang besar dalam proses belajar mengajar. Pengaruh tersebut lebih dikenakan pada tujuan pembelajaran siswa karena hal itu erat kaitannya dengan guru yang bersangkutan. Kepribadian guru tersebut melbatkan hal seperti nilai, semangat bekerja, sifat atau karakteristik, dan tingkah laku.
Sebagai manusian seorang guru mempunyai nilai (values) yang diimplementasikan saat ia berbicara dan bertingkahlaku di depan kelas. Sebagai contoh, rasa tanggung jawab untuk melakukan sesuatu hal, kesediaan membantu orang lain, berkorban, dan lain-lain. Termasuk dari tuntutan kurikulum dan buku, guru juga harus bias menyampaikan perasan yang terkandung di dalamnya yang berkaitan dengan nilai kehidupan kepada siswa.
2. Kompetensi Siswa
Disamping guru, keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar juga mempunyai pengaruh yang sangat besar. Seperti layaknya guru yang sudah dijelaskan sebelumnya, sebagai manusia, siswa mempunyai 2 aspek yaitu kompetensi dan kepribadian. Kompetensi tersebut juga meliputi hal yang sama yaitu kognitif, afektif, dan psikomotor.
Kompetensi siswa merupakan kemampuan yang dimiliki oleh siswa untuk menerima dan menerapkan semua materi yang telah disampaikan oleh guru kepada mereka. Kompetensi kognitif siswa merupakan kemampuan siswa dalam mengembagkan cara berpikirnya dalam menerima materi. Kompetensi afektif adalah kemampuan siswa dalam membangun motivasi bagi diri mereka sendiri sehingga tercipta kesiapan untuk melaksanakan proses belajar. Sedangkan kompetensi psikomotor merupakan kemampuan yang melibatkan gerakan tubuh siswa sebagai hasil pembelajaran yang ia serap dari proses belajar.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Yang dimaksud dengan objek atau sasaran evaluasi pendidikan ialah segala sesuatu yang bertalian dengan kegiatan/proses pendidikan, yang dijadikan titik pusat perhatian/pengamatan, karena pihak penilai/evaluator ingin memperoleh informasi tentang kegiatan/proses pendidikan tersebut. Salah satu cara untuk mengetahui objek dati evaluasi pendidikan adalah dengan jalan menyorotinya dari tiga segi, yaitu:
1. Input
Aspek ini mencakup kemampuan yang diukur dengan Attitude Test, kepribadian yang diukur dengan Personality Test, sikap yang diukur dengan Attitude Scale, dan yang terakhir inteligensi yang diukur dengan tes inteligensi yang sudah banyak diiptakan oleh para ahli. Seperti, tes Binet-Simon (buatan Binet dan Simon), SPM, Tintum, dsb.
2. Transformasi
Unsur-unsur dalam transformasi yang menjadi objek penilaian demi diperolehnya hasil pendidikan yang diharapkan antara lain: Materi Pelajaran, Metode Pengajaran dan cara penilaian, Sarana Pendidikan, Sistem Administrasi, dan Guru bersama personal lainnya dalam proses pendidikan.
3. Output.
Subjek/pelaku evaluasi adalah orang yang melakukan pekerjaan evaluasi. Siapa yang dapat disebut subjek evaluasi untuk setiap tes ditentukan oleh suatu aturan pembagian tugas atau ketentuan yang berlaku, karena tidak setiap orang dapat melakukannnya.
Subjek/pelaku evaluasi adalah orang yang melakukan pekerjaan evaluasi, yang dapat disebut subjek evaluasi untuk setiap tes ditentukan oleh suatu aturan pembagian tugas atau ketentuan yang berlaku.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsini. 1993. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan. Bumi Aksara: Jakarta
Arikunto, Suharsini. 1999. Dasar-Dasar Evaluasi Pendidikan (Edisi Revisi). Bumi Aksara: Jakarta
Daryanto. 2005. Evaluasi Pendidikan. Rineka cipta: Jakarta.
Sudijono, Anas. 1996. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Taken from:
http://one.indoskripsi.com/judul-skripsi-tugas-makalah/tugas-kuliah-lainnya/objek-dan-subjek-evaluasi-pendidikan